3

201 23 7
                                    

Darma tidak sabar pulang. Sepanjang jalan senyumnya tidak pernah luntur membayangkan ibu dan adiknya akan makan bakso kesukaan mereka hari ini.

Berhubung ada rezeki lebih dan Darma baru saja diajak makan gratis oleh Jema, Darma membelikan beberapa bungkus bakso untuk ibu dan adiknya. Adik laki-lakinya berusia 7 tahun, hasil pernikahan dengan pria bajingan yang sangat dibenci Darma. Meski begitu, Darma tetap menyanginya selayaknya adik kandung. Biarlah kebenciannya pada seseorang dia pendam, Darma tidak mau adiknya juga merasakan imbas kebencian dari seseorang.

"Kakak pulang!" Bambi berteriak girang di depan pintu menyambut kedatangan Darma. Melihat bingkisan yang dibawa sang kakak membuat Bambi semakin kegirangan terlebih aroma kuah bakso yang langsung tercium.

"Kakak beli bakso mang Ipul ya?" Darma mengusak rambut tipis Bambi seraya memberikan bingkisan tersebut.

"Iya, Bambi sudah makan?" Bambi menggeleng rusuh.

"Belum, Bambi lapar sekali. Ibu juga tadi pagi menangis saat ayah pulang. Ayah mukul ibu, kak." Bambi memeluk kaki Darma mengadukan segala perlakuan sang ayah kepada ibunya.

Mendengar penjelasan lirih itu, Darma panik. Dadanya bergejolak marah dan sesak, jika membunuh tidak dosa, maka Darma adalah orang pertama yang akan melenyapkan pria bajingan tersebut.

"Sekarang di mana ibu?"

"Ibu lagi masak, kak. Tadi ibu juga dimarahin sama tukang warung karena minta terus."

Lemas dan hancur hati Darma mendengar penuturan Bambi. Sesulit ini kah kehidupannya sekarang? Dulu, apa pun yang Darma inginkan akan langsung terkabul, beras dan pangan bukanlah masalah di setiap harinya. Namun sekarang, roda hidupnya berbeda. Darma menyeka setitik air yang ada di ujung matanya, dia tidak mau terlihat lemah di hadapan Bambi.

"Kalau gitu, ayo kita masuk." Darma menggiring Bambi masuk diiringi pekikan bahagia bocah kecil yang akan memakan bakso.

"Ibu, Kak Darma bawa bakso. Ayo kita makan." Bambi berteriak girang. Tidak berselang lama, munculah wanita paruh baya dengan senyuman terukir di wajah meski pun wajah itu menyiratkan kelelahan dan kerutan tua di wajah.

Darma semakin tidak tega melihat ibunya dirundung kesulitan semenjak menikahi pria bajingan yang harus dia panggil ayah. Ayah sambungnya kerap melakukan kekerasan kepada sang ibu jika kehendaknya tidak dituruti. Tidak pernah memberikan nafkah lahir dan malah semakin menyusahkan sejak terjerumus ke kubang perjudian.

"Kok beli bakso? Darma punya uang?" Buru buru Darma menyeka hidung merahnya karena menahan tangis.

"Alhamdulillah, bu. Di sekolah Darma bantuin anak-anak markir motor. Karena Darma ganteng mereka ngasih tip lebih."

"Darma emang anak ibu yang paling ganteng, percaya deh banyak yang suka sama kamu." Winta terkekeh sembari membuka bungkus bakso untuk dipindahkan ke mangkok.

"Terus Bambi nggak ganteng gitu?" Bambi cemberut mendengar perkataan ibunya pada Darma.

"Kamu kegantengannya belum keliatan Bam. Makanya cepet gede, biar gantengnya kayak kakak." Darma menimpali sedikit mengejek.

"Nggak mau mirip kak Darma, jelek."

"Bocil diem aja."

"Iya ini Bambi diem." Winta terkekeh gemas melihat interaksi kedua anaknya. Syukurlah, Darma begitu dewasa menyikapi situasi dirinya sekarang. Darma juga tidak pernah membahas keluarga bahagianya di masa lalu. Hal itu sebenarnya membuat hati Winta sakit karena tidak bisa memberikan yang terbaik untuk Darma.

Mereka menghabiskan waktu diselingi guyonan kecil dari Bambi dan ejekan Darma. Winta diam menikmati bakso yang sudah lama tidak dia cicipi entah sejak kapan. Khidmat melingkupi keluarga kecil itu, Darma hanya berharap mereka terus bisa bersama meski tahu bahwa kehidupan mereka tidak akan mudah. Saat kehangatan itu melingkupi, tiba tiba saja pria paruh baya membuka pintu kasar yang membuat Bambi langsung menghambur ke pelukan Darma.

Satya DarmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang