Tidak ada tampang bahagia atau santai seperti biasa dari raut Fatih, hanya perasaan lesu ketika keluar dari ruang yang dianggap keramat. Masih tak menyangka bahwa ia akan berbuat jahat kepada orang lain hanya demi kepentingan sendiri. Menentang prinsip agar tetap membela kebenaran, jelas tidak muda dilakukan. Apalagi jika sudah tertanam dalam diri sejak kecil.
Di lobi, Daren menatap dengan kerutan, menandakan bahwa heran melihat cowok itu. Bukannya langsung masuk ke ruangan Iris, ia malah berdiri di hadapan Fatih hingga memotong jalan.
Terlalu malas meladeni atau bertingkah konyol lagi, Fatih memilih berbelok dan duduk lemah di kursi tunggu di sana. Membiarkan Daren masih menatapnya penuh keingintahuan.
"Sekarang gue percaya, uang bisa mengubah segalanya dan berhasil menghancurkan prinsip gue."
Tanpa dijelaskan maksud sebenarnya, tentu Daren sudah paham. Ia menepuk pundak cowok itu sembari berucap, "Dunia memang sekejam itu, lebih kejam lagi kalau lo milih ubah sifat baik ke buruk daripada tetap memegang prinsip sendiri. Jangan jadiin lo alasan seseorang membenarkan argumen itu mengenai dunia."
Walau tidak begitu akrab bahkan bisa dikatakan mereka seperti rival, tetapi Fatih tiba-tiba merasa bahwa Daren bukanlah orang buruk.
Sembari mencerna kata demi kata keluar dari mulut cowok yang kini sudah masuk ke ruangan Iris, Fatih seolah-olah ditarik kembali untuk sadar. Hanya saja, kata-kata Daren tidak berefek lama ketika kembali mengingat kondisi sang ayah.
"Lama-lama gue bisa gila kalau kaya gini. Lebih enak jadi bodyguard Ardhan!" seru Fatih meremas rambutnya frustrasi sebelum mengeluarkan kartu bodyguard yang tidak ada guna lagi. Ia ingin membuang di tempat sampah terdekat, tetapi mengingat lagi benda itu harus tetap bersamanya sebagai penanda keanggotaan pengawal keluarga Chandra.
Masih dalam keadaan bimbang, ia melirik pintu di mana sosok Daren berada. Bertepatan dengan masuknya dua pengawal dan satu berdiri di depan ruangan.
"Apa kedatangan Daren sebenarnya ada niat baik?"
Sementara di dalam, Daren masih dengan wajah datar. Jika Fatih memilih menatap langsung ke Iris, ia malah memfokuskan pandangan ke tembok belakang wanita itu.
Iris menepuk pipi Daren tiga kali sebelum merapikan kemeja hitam bergaris putih milik cowok itu.
"Daren, Daren. Antara bodoh atau mau cari mati?" Senyum di bibir sangat bertolak belakang dengan perasaan marah Iris. "Jawab dengan jujur. Kamu bekerja di saya karena punya tujuan lain, kan?"
Tidak ada respons. Daren masih tetap berusaha sesantai mungkin, walaupun ketenangan batin tak lagi ada.
"Kamu mata-mata dari perusahaan siapa?" Sudah dibuat marah oleh Fatih, Iris masih harus menghadapi Daren yang seperti tidak ada takut-takutnya sama sekali.
"Maaf sebelumnya, tapi saya tidak paham maksud, Nyonya."
Tawa wanita itu terdengar setelahnya. Tangan lentiknya sudah terkepal dengan geram sedari tadi. Mulai lelah, ia memerintah anak pengawalnya untuk memberi hadiah berupa pukulan di perut Daren karena berani berbohong.
Terasa sakit dan keram, tetapi masih bisa ditahan. Daren mengatur posisi berdirinya kembali tegak.
"Kurung dia di gudang vila tempat biasa, sampai mau jujur dengan siapa bocah ini bekerjasama!"
"Baik, Nyonya." Terdengar seruan keduanya sebelum menyeret paksa Daren yang memilih diam saja.
Selepas mereka tidak terlihat lagi, sedetik kemudian asisten Iris masuk. Wanita yang lebih muda lima tahun darinya, membungkuk sebelum memberi laporan sebagaimana tujuannya datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania dan Pangeran Kodok
Подростковая литератураNote : Cerita ini pernah diikutsertakan dalam event Cakra Writing Marathon Batch 4 Juara : harapan 4 CWM Batch 4 Best of Disney BLURB Sejak kecil Rania selalu memiliki jiwa optimis dalam mengejar impiannya yaitu memiliki restoran sendir...