Chapter 31

0 0 0
                                    

Hanya diam, Rania menarik sang bunda untuk bergegas pergi. Berlama-lama di sana sama saja mencari penyakit hati. Dengan pasrah, Ayu hanya ikut ketika putrinya itu menuntun untuk naik ke angkutan umum untuk pulang. Bukan berarti Rania membiarkan kejadian naas pada masakannya yang dibuang, ia terus mengamati pria si akar dari permasalahan. Rania yakin jika pria itu tak lain adalah salah seorang yang pernah mengacak-acak rusunnya.

Apa mereka tidak akan berhenti sebelum mendapat tanah rusun?

Jika benar, Rania mulai bimbang. Di tambah sebuah kertas yang didapat sewaktu Danan kecelakaan. Hidupnya akhir-akhir ini tidak selalu mendapat ancaman.

"Bunda jangan sedih. Kalau rezeki kita memang di restoran itu, pasti ada jalannya. Mungkin Tuhan menguji kita dulu sebelum disukseskan." Kata pemenang untuk sang bunda, tetapi juga sebagai keyakinan di dalam diri agar ia tidak gampang menyerah.

"Iya, Rania. Bunda nggak akan sedih demi kamu Dan orang-orang rusun." Walaupun pikiran sudah berkecamuk di dalam kepala mengenai tuduhan dan semua ujian yang didapat, Ayu akan berusaha tegar.

Usai membayar biaya angkot, kedatangan mereka sudah disambut hangat oleh anak-anak rusun, Ardhan dan Fatih. Di sana sudah terdapat beberapa makanan yang sempat kedua cowok itu beli sebelum datang. Rania yakin bahwa keduanya juga yang mengajak para adiknya kumpul.

Baik Rania maupun ketiga wanita di sampingnya, memperlihatkan senyum seolah-olah tidak terjadi masalah apa pun. Juga menyembunyikan dua kotak nasi yang masih tersisa dengan menggulungnya bersama kantong plastik hingga tak terlihat.

"Kak Rania, Kak Pangeran Kodok bawa pizza enak." Nizam–saudara Adi–mengangkat tempat persegi. Mulut sudah belepotan oleh keju dari toping makanannya.

Rania hanya mengacak-acak gemes rambut bocah enam tahun itu. Ia pun beralih melihat Ardhan dan Fatih. "Mau lanjut mengajar?"

"Iya, Ran. Mumpung lagi libur. Udah izin juga kemarin sama orang tua mereka dan disetujui," sahut Ardhan, sementara Fatih mulai membereskan makanan terlebih dahulu sebelum melanjutkan proses ajar-mengajarnya.

Gadis itu mengangguk kemudian. Siapa tahu dengan begini orang-orang rusun percaya akan sebuah mimpi. Bukan hanya dongen belakang yang tak nyata, melainkan sebuah jalan merubah segalanya.

Tulis besar kata mimpi terpampang di papan hadapan mereka. Fatih berniat mengajarkannya mengeja dengan satu kata itu.

"Sekarang ada yang bisa sebut huruf apa saja ini?" pertanyaan cowok itu langsung mendapat angkatan tangan dari Adi. Alih-alih mempersilahkannya menjawab, Fatih malah menunjuk Lisa dan Lena yang asyik cekikikan di belakang. "Coba Lisa sama Lena ya sebut huruf apa saja di sini."

Tampak keduanya memicing sebelum menggeleng. "Itu apaan?"

Sontak semuanya tertawa mendengar pertanyaan lugu Lisa. Beda dengan Rania yang hanya tersenyum. Mungkin cuma Ardhan yang menangkap ekspresi lain gadis itu. Ia pun menarik Rania menjauh dan menyerahkan tugas pada Fatih.

"Lo ada masalah?"

Awalnya Rania enggan mengatakan kepada siapa saja, biarkan ini menjadi urusannya sendiri. Namun, ternyata sulit menahannya.

"Ada yang menuduh kita kalau makanan yang dibagikan tadi nggak higienis. Padahal sebelum dibungkus, kita udah coba duluan, kok. Bahkan Lisa sama Lena sempat nyoba. Lihat, mereka nggak sakit perut. Cuma anehnya ada ibu-ibu yang malah muntah habis coba makanannya. Gue sekarang nggak tau mau bagaimana lagi, Dan. Semenjak orang itu mengincar tanah rusun, kehidupan kita tambah susah," tutur Rania sembari terduduk lesu depan dapur.

Ardhan memilih diam. Bukan ia yang berbuat jahat, tetapi rasa tak enak hati malah membuatnya menyesal. Apa yang diperbuat ibunya sudah di luar batas. Ardhan tidak bisa membiarkan semakin banyak hal merugikan lagi.

Rania dan Pangeran Kodok Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang