Chapter 06

5 5 0
                                    

Dari raut wajah tegang para penghuni rusun, Rania dapat menebak ada yang tidak beres. Apalagi baru kali ini mereka berkumpul dengan lengkap. Gadis itu mencuci kaki dan memakai sandal entah siapa pemiliknya, sebelum mendekat pada kerumunan.

Ia sempat melirik para adik-adiknya yang mengusap mata karena berair. Jelas mereka sedang menangis di bawah pohon rindang itu. Danan si paling tua di sana, memeluk dan menenangkan para anak-anak. Rania sekilas mendengar ucapan Danan yang menyebut tanah.

"Tenang, tanah ini nggak akan diambil." Seperti itulah kata penenang dari bibir bocah laki-laki sepuluh tahun itu.

Tidak ingin menduga-duga, Rania membela kerumunan. Di dekat tangga yang terdapat kursi kayu panjang, bunda Rania duduk dengan map merah di tangan di temani bu Yuni–ibu Danan–di samping kiri. Rania memilih ikut duduk di kanan wanita yang sudah merawatnya dan mengambil alih benda tempat menyimpan kertas itu.

Orang-orang di sekeliling tampak khawatir saat Rania mulai membaca isinya. Takut jikalau gadis itu kepikiran hingga tidak fokus bekerja atau bersekolah. Namun, semua sudah terlanjur. Mendadak tangan Rania kaku ketika menutup kembali map tersebut.

"Apa tiga bapak-bapak tadi yang kasi peringatan ini ke kita?" tanya Rania pada semua orang. Setidaknya ia bisa mendapat jawaban dari salah-satunya.

Anggukan berat ayah Syifa sudah menjelaskan. Rania merasa melemah seperti lainnya. Tidak percaya bahwa tanah yang dipijaknya ternyata berniat dibeli oleh salah-satu pengusaha besar di Jakarta. Hanya saja bukan itu yang membuat nyawa seakan hendak keluar dari jiwanya, tetapi utang yang ternyata sering almarhum ayahnya pinjam agar tetap bisa mempertahankan hidup orang-orang di sana tanpa sepengetahuan mereka.

Saat kesadaran gadis itu kembali setelah terdiam memikirkan semuanya, barulah ia menggenggam tangan sang bunda untuk berbicara. "Bunda udah lama tau kalau ayah punya utang sebanyak ini?"

Wanita 43 tahun itu menggeleng. Matanya masih memerah karena terus diusap. "Ayah nggak pernah cerita soal ini, Ran."

Meskipun niat ayahnya baik untuk kepentingan orang-orang rusun, tetapi apa jadinya jika sudah begini? Mencari biaya untuk kebutuhan sehari-hari saja terkadang masih belum cukup jika saja mereka tidak saling membantu.

Rania kembali menghitung pinjaman ayahnya. Nominal empat puluh juta tentu menjual tanah dua hektar saja tidak cukup.

"Tapi kenapa mereka bisa datang ke sini dan berniat beli tanah ini? Apa ayah meminjam ke mereka?" Lagi, Rania bertanya. Tidak mungkin kedatangan tiga pria tadi hanya kebetulan tanpa ada yang memberi tahu.

"Kami juga nggak tau, Rania, tapi salah-satu bapak tadi yang mengatakan kalau ayah kamu meminjam ke dia. Lalu kedua pria lainnya memberi penawaran untuk menjual tanah ini ke perusahaannya karena ternyata orang di mana ayah kamu meminjam itu punya utang juga sama perusahan mereka," jelas Yuni, berharap Rania paham dengan ucapannya.

Rania mencerna setiap penjelasan wanita itu dalam diam. Suasana hening hanya suara napas yang terdengar putus asa, ia menatap setiap wajah lesu para orang tua di sekeliling.

Ke mana lagi harus cari uang sebanyak ini? Gaji di kafe aja nggak cukup. Rania cuma bisa membatin.

Merelakan tanah sang kakek jelas bukan pilihan tepat. Di sini mereka membangun mimpi dengan tujuan yang sama. Bahkan ia tidak pernah berpikir untuk menjualnya. Jika melakukan hal itu, lantas di mana lagi Rania dan para penghuni rusun akan tinggal? Kembali menjadi gelandangan yang siap siaga mencari tempat teduh di saat hujan datang atau bersiap seandainya diusir kasar oleh sang pemilik ruko ketika beristirahat di sana?

Rania menggeleng. Semua itu tidak akan terjadi selama mereka bersama-sama mencari jalan keluarnya.

Masih bergelut dengan utang, kedatangan pak Salim membuyarkan lamunan. Pria itu tersenyum tanpa tahu apa-apa saat menghampiri mereka.

Rania dan Pangeran Kodok Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang