O4; Join Anak Punk

269 23 11
                                    

TRIGGER WARNING
MENTION OF DEATH


Devika frustrasi sendiri. Hingga ia menyerah dan memilih meninggalkan Osaka sendirian di kamar sesuai permintaannya. Ralat. Bukan permintaan, melainkan perintah dengan ancaman.

Segala bentuk ancaman sudah diberikan. Sehingga berhasil membuat cowok itu duduk melamun sendirian di kamar rawat-nya yang cukup luas. Mengingat perkataan dokter beberapa menit lalu. Belum genap satu jam terlewat, sehingga ingatannya masih begitu kuat.

"Saya sudah memberi tahu semua halnya tentang kondisi kamu kepada orang tua kamu. Saya harap, setelah ini kamu tidak lalai lagi dan rajin mengikuti pengobatan, ya. Sebelum nantinya kamu menyesal karena sudah tidak mudah disembuhkan."

Osaka terkekeh sumbang. Menyesal, katanya? Cih, kata siapa dia akan menyesal kalau itu terjadi? Justru yang ada, itu yang Osaka mau. Dia mau sekalian saja sekarat. Atau kalau perlu mati sekalian. Tak ada satupun yang dapat membantunya untuk sembuh dan membiarkan malaikat maut mengambil nyawanya.

Osaka sudah terlalu muak. Dia sudah sangat ingin mati, tapi selalu tidak jadi. Entah karena Tuhan belum merestui, atau memang dia yang tak pandai pilih cara untuk bunuh diri.

"Osaka, Ayah harap kamu mau menuruti apapun perintah dokter, juga orang tua kamu, ya. Supaya kamu cepat sehat dan kembali sehat bugar seperti biasa."

"Seperti biasa?" Alis kiri Osaka terangkat. Kemudian terkekeh singkat lalu kembali di raut wajah yang datar. "Gak usah sok tau jadi orang."

"Sok tau bagaimana?"

Osaka mendengkus. Ia terpaksa mengangkat punggung dan mengubah posisi menjadi duduk. Sambil membalas, sambil menatap tajam tepat pada kedua mata Jeffrey.

"Emang tau, kehidupan gue yang seperti biasa itu kayak apa? Enggak 'kan?"

Jeffrey diam. Membenarkan ucapan Osaka kala itu. Dia memang tak pernah tahu, bagaimana kehidupan putranya selama ini. Dan hidup seperti biasa yang bagaimana yang dilalui putranya.

"Dari dulu, yang kayak biasanya, ya gini-gini aja. Emang lo berharap apa? Gue anak yang sehat, bugar, kuat fisik, tahan banting, kuat mental, gitu?"

Osaka menyeringai tipis. Dalam diamnya, ia mengepalkan tangan. Emosinya sedang tak terkendali. Dia takut kalau semakin pria itu bicara, semakin membuat emosinya naik ke ubun-ubun.

"Lo gak pernah mau tau apapun itu yang menyangkut diri gue. Sejak mengklaim gue yang udah bukan jadi anak lo lagi, lo gak pernah tau gimana kehidupan gue."

Jeffrey memilih diam. Mendengarkan semua ungkapan Osaka yang memang kebanyakan fakta. Dia bukan manusia yang buta fakta, kok. Kalau memang begitu kenyataannya, mau menyangkal pun bagaimana? Osaka juga keras kepala.

"Gue gak sesehat kelihatannya, Pak Tua. Gue cuma anak ingusan yang kena angin doang udah tepar! Jadi udah gak ada lagi alasan buat pertahanin gue lagi 'kan? Lo juga udah tau semua kelemahan gue, ke-enggak gunaannya gue di rumah ini."

Jeffrey menanggapinya dengan segaris senyum.

"Justru itu. Tekad Ayah jadi semakin kuat untuk berusaha membuat kamu sehat. Karena tujuan Ayah hanya satu, membahagiakan kamu."

Alih-alih terharu dan luluh, Osaka justru mendengkus kasar. Dia menyingkap selimut dan mencabut jarum infusnya yang semula masih tertancap itu dengan kuat. Sampai membuat Jeffrey berteriak tertahan lantaran melihat kulit punggung tangan Osaka mengeluarkan darah yang cukup banyak.

"Osaka! Apa yang kamu lakukan?"

"Muak. Gue mau pulang." Osaka yang hendak berlari keluar kamar itu lekas ditahan oleh dua pengawal. Sementara pintu kamar rawat yang menjadi akses satu-satunya untuk keluar tiba-tiba ditutup seseorang dari luar.

O S A K ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang