O6; Persetujuan Pulang

243 23 4
                                    

Langkah kaki yang timbul dari heels milik wanita paruh baya itu terdengar menggema di sepanjang lorong. Jalannya yang tergesa pun dapat dirasakan. Sekaligus perasaan seseorang itu saat ini.

Plak!

Tanpa aba-aba, Devika langsung menampar Jeffrey tatkala ia sampai di depan ruangan putranya berada. Emosi wanita itu terlihat sudah di ujung. Dapat dilihat melalui mimik wajah juga tatapan matanya yang sama sekali tidak bersahabat.

"Apa maksudmu?" sewot Jeffrey tak terima. Ia menyentuh pipi kirinya yang menjadi korban tamparan maut wanita itu. Devika tak pernah main-main soal main tangan. Dia sebagai pria saja merasa kalah.

"Masih tanya maksudku apa?" Devika membalas dengan nada sewot juga. Wanita itu melayangkan jari telunjuknya di depan wajah Jeffrey. Menunjuk pria itu penuh emosi. "Jelas-jelas kamu yang gak becus jagain anakku. Belum juga sehari dia ikut kamu, lihat apa yang terjadi sekarang?"

Mantan pasangan suami istri yang hubungannya telah lama usai itu saling melempar tatapan tajam. Terutama Devika yang tak terima putranya jadi seperti sekarang ini akibat kelalaian Jeffrey.

"Aku udah berbaik hati buat tepatin perjanjian itu, yang sebelumnya aku sendiri gak yakin kamu bisa jaga Osaka dengan baik. Dan ternyata kamu emang gak bisa dipercaya," ungkap Devika. "Aku gak akan biarin hal ini terjadi lagi. Osaka harus tinggal sama aku untuk seterusnya."

"Nggak," Jeffrey menyanggah. Rahang pria itu terlihat mengeras. Ia tidak kalah kerasnya. "Osaka masih harus ikut aku. Kamu lupa perjanjian kita apa?"

"Ya tapi kamu lihat sendiri dong, sekarang! Situasi kayak gini, dan kamu masih mentingin ego buat maksa Osaka ikut kamu?"

Jeffrey diam. Ia sengaja memberi celah untuk Devika meluapkan semua amarahnya karena memang sebetulnya ini kesalahannya.

"Gimana bisa aku bisa percayain Osaka ikut kamu seminggu ke depan? Dengan cara apalagi aku bisa percaya sama kamu setelah ini, hah? Aku gak akan biarin anakku mati di tangan kamu karena kamu yang gak bisa urus dia."

"Gak selebay itu, Devika."

"Bisa. Kalau kamu gagal lagi."

Jeffrey mendengkus. "Kamu bilang seolah-olah aku jadi Ayah paling gagal buat anakku sendiri. Nggak sadar kalau kamu juga pernah se-gagal itu jadi Ibu?"

Devika diam sesaat. Dia memang mengakui kesalahan itu di masa lalu. Tapi sekarang ini dia tidak akan lagi melakukan itu. Sebab ia telah berjanji pada dirinya sendiri dan pada Tuhan, kalau ia akan menyayangi dan memberi kehidupan yang layak serta bahagia untuk putranya seorang. Satu-satunya buah hati yang Devika punya.

"Tapi itu dulu, Jeff. Sekarang aku bahkan lebih bisa diandalkan buat jaga putraku sendiri."

Jeffrey berdecih. "Kita sama-sama pernah punya kesalahan 'kan? Ya sudah, jangan bersikap seolah aku yang paling berdosa di sini," katanya, "aku juga nggak akan mungkin biarin anakku masuk ruangan yang paling aku benci ini, Dev."

Devika diam dan tampak berpikir keras. Ia melirik sinis Jeffrey, lalu bertanya. "Osaka sama siapa aja di rumahmu?"

"Istriku. Siapa lagi?"

Wanita itu cukup terkejut mendengar jawaban Jeffrey dengan nada santainya. Ia tersenyum miring.

"Berarti semua ini ulah istrimu!"

"Jangan salahkan orang lain di sini! Apalagi kamu yang mulai menyangkut-pautkan istriku."

Devika terkekeh miris. "Ini akibatnya kalau cintamu terlalu buta, sampai lupa pakai logika!" ungkapnya dengan intonasi suaranya meninggi. "Kalau bukan dia, siapa lagi? Aku tanya."

O S A K ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang