Sahabat Yang Menyebalkan

71 15 26
                                    

Hei! Aku kembali lagi untuk kalian. Dimohon untuk vote dan coment. Terimakasih 🙏

Suara klakson mobil mengagetkan aku dan Felysia. Aku menatapnya sesaat, sebelum menarik tangannya, supaya masuk kedalam mobil. Didalam mobil pun, Felysia masih enggan membuka suara dengan ekspresi datarnya, ia terus memainkan ponselnya.

"Ngambek?" tanyaku tersenyum melihat raut wajah sahabatku semakin cemberut saat di tanya. Heran sekaligus bingung, aku melihatnya.

Kenapa bisa? Felysia bisa diam terus, biasanya juga sangat ribut. Aku menghembuskan nafas pelan, dan memilih berhenti bertanya.

Dengan wajah cemberut, bibir sedikit dimoyongkan beberapa senti, Felysia mengeluarkan suaranya setengah berteriak, "Ih, Maira, nyebelin banget sih, udah tau aku ngambek alias marah. Tapi masih saja, Maira gak peduli."

"Gak usah teriak-teriak, dan gak usah dramatis dong. Baru tadi aku fikir, dirimu udah berubah menjadi patung. Ternyata, ya, kau tak berubah yang namanya, Felysia Keisha Sadina tetaplah sama, dramatis, ngaconya tak tau tempat dan kadang sedikit eror," ujarku panjang kali lebar dengan wajah heran melihat tingkah Felysia seperti anak kecil.

"Eh, kok malah ngatain aku, Maira udah bosan ya, sahabatan sama aku, terus Maira udah punya sahabat yang baru gitu," tebak Felysia sembari mengembungkan pipinya.

"Astagfirullah! Felysia, kapan sih kau berubah? Kau itu sudah dewasa bukan lagi anak kecil," cercaku tak tau harus bagaimana dengan sikap sahabatku, yang semakin hari semakin bertambah menjadi-jadi.

Felysia menatapku bingung, dahinya berkerut, seperti memikirkan sesuatu.
"Maksudnya, Maira. Aku harus berubah ya, berubah seperti apa? Jadi Upin apa jadi Ipin. Soalnya aku gak bisa bedain, Maira. Upin yang mana Ipin yang mana," sahut Felysia begitu polosnya. Kemudian ia tersenyum tanpa dosa menungguku memberi jawaban.

Aku menggelengkan kepala menatap Felysia tajam. Aku berharap agar cepat sampai di depan rumahnya Felysia. Karena bisa-bisa aku menjadi ikutan tidak waras seperti dia. Tiba-tiba mobilnya berhenti, lega rasanya tidak perlu menjawab pertanyaan konyol Felysia.

"Turun, Felysia. Sudah sampai di depan rumahmu," kataku lembut. Felysia hanya mengangguk lalu turun.

Jam dinding di kamarku sudah menunjukkan pukul 17. 13 sejak pulang dari kampus tadi aku ketiduran. Mandi pun belum aku lakukan. Dengan malas aku bangun karena ponselku berbunyi.

Aku bangkit dari tidurku, berniat untuk mandi lalu setelah itu melakukan kewajibanku sebagai muslim, yaitu shalat ashar. Selesai mandi dan shalat, aku turun ke bawah untuk makan, sebab sedari tadi pulang dari kampus, aku belum mengisi perutku sama sekali.

"Bunda, aku lapar," kataku dengan suara manja sembari berjalan mendekati bunda yang duduk di ruang keluarga.

Bunda tersenyum melihat tingkahku yang masih saja manja seperti anak kecil. "Ya udah, makan atuh, sayang. Mau bunda temenin?"

"Bunda sibuk?" tanyaku dengan cepat bunda menggeleng tanda ia tidak sibuk.

"Ya udah, kalau gitu, aku makan dulu ya, Bund."

~~~

Kebingungan sedang melanda diriku. Bagaimana tidak? Aku belum memberi tau kedua orang tuaku bahwa akan ada tugas kuliah yang mengharuskan kami pergi ke Bali untuk beberapa hari.

Aku berkuliah di salah satu Universitas di Kota ku dengan jurusan kedokteran. Begitu pun dengan sahabatku, Felysia. Di saat aku masih memikirkan bagaimana caranya meminta izin untuk bisa pergi ke Bali. Tiba-tiba aku di kagetkan oleh seseorang yang menepuk bahuku.

"Kenapa, Maira? Kok cemberut gitu?"

"Bingung, aku belum minta izin sama orang tuaku kalau kita akan pergi ke Bali untuk mengerjakan tugas kuliah," sahutku dengan wajah masih sama tidak melihat ke arah Felysia.

"Cuma karena itu?" tanya Felysia tersenyum sambil memutar bola matanya ke sekeliling ruangan kelas. Aneh! Itu yang ada didalam pikiranku sekarang. Kenapa sahabatku ini bersikap selalu tidak bisa ditebak tingkahnya.

"Hey! Cuma karena itu?" ulang Felysia sekali lagi, lebih keras dari sebelumnya karena dari tadi aku diam saja tidak menjawab ataupun melihat ke arahnya.

Malas rasanya aku untuk menjawab. Makanya aku lebih memilih untuk diam dan mengangguk saja. Lagian apa gunanya cerita sama sahabatku yang satu ini. Solusi tidak dapat malah nanti ngawurnya kemana-mana.

Jangan salah juga, terkadang dia menjadi sangat pintar dalam memberikan solusi untuk orang lain. Kalau otaknya lagi berfungsi. Ya begitulah, orang kan punya kekurangan sama kelebihannya masing-masing.

Lah, Felysia, sepertinya terlalu banyak kelebihannya makanya otaknya agak lemot. Namun dia wanita yang cantik dan juga pintar. Pintar dalam membuat orang kesal.

~~~

Sudah dua hari berlalu, setelah aku dilanda kebingungan. Akhirnya hari ini aku mencoba memberanikan diri untuk meminta izin. Sebab aku tau ayah tidak akan memberi izin kepadaku untuk berpergian jauh tanpa mahram. Terkecuali memang sangat penting.

"Ayah, bolehkan aku pergi ke Bali untuk mengerjakan tugas kuliah?" tanyaku dengan wajah menunduk.

Beberapa saat ayah tidak menjawab pertanyaanku. Sepertinya ayah sedang berfikir. Ku lirik bunda sekilas ia tersenyum padaku. Ayah menatapku teduh, itu membuatku semakin khawatir.

"Apa memang semuanya diwajibkan untuk pergi?" tanya Ayahku dengan lembut. Namun tetap saja aku khawatir.

"Iya, Ayah," jawabku dengan suara lembut.

"Baiklah, pergi saja," jawab Ayahku tersenyum. Sontak mendengar jawaban ayahku itu, aku sangat bahagia dengan wajah girang langsung ku memeluk tubuh bunda.

"Felysia juga ikut kan?" tanya Ayahku memastikan.

"Ikut, Ayah."

Kemudian aku pamit pergi ke kamar, ayah dan bunda hanya mengangguk. Mulailah aku memasukkan beberapa baju dan apa-apa yang aku perlukan selama seminggu di Bali. Hatiku sungguh sangat senang, entah kenapa?

Memang pada dasarnya ini kali pertamanya aku pergi ke Bali. Tetapi bukan karena itu ku rasa, mengapa rasanya aku sangat senang? Seperti ada sesuatu yang sangat indah yang akan kutemukan di Bali. Semoga saja feeling ku benar.

Malam sudah begitu larut, namun diriku belum bisa tidur. Mengantuk saja tidak. Pikiranku terus melayang membayangkan akan bertapa indahnya Kota Bali. Tetapi bukan karena keindahannya. Sepertinya ada hal baru yang lebih menyenangkan atau bahkan lebih membuatku bahagia di sana.

Tidak ingin terus menerus memikirkannya, aku memilih untuk memejamkan mata ini. Walaupun terasa sulit, karena aku memang tidak mengantuk sama sekali. Namun pada akhirnya aku tertidur dengan sendirinya.

الهم صل على سيد نا محمد وعلى أله واصحبه وسىلم

Tinggalkan jejak dan vote. Terimakasih 🙏
Jangan lupa untuk follow author.

April_05_2023
Aceh...

Revisi hari : kamis
30 Mei 2024

Cinta Di Ujung TakdirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang