Ya Tuhan, kapan dewasanya dia?
"Kak, gue mau nasi goreng," ucapnya sambil lalu ke kamar mandi.
Ada gitu, orang berkeliaran di rumah setengah telanjang cuma pake handuk di dapur sambil gosok gigi? Gosok gigi demi Tuhan! Habis ngomong, ngacir dia ke kamar mandi. Ini anak udah 21 tahun. Udah gede! Udah bisa bikin anak dan cicil rumah.
Eh, tumben bangun pagi. Dia kan makhluk nokturnal.
Ini lagi. Apa kata Nyonya Bet kalau sampai beliau tahu aku yang buatin nasi goreng untuk anak kesayangannya? Apa kata dunia? Sungguh. Aku enggak mau cari masalah sama beliau bahkan setrivial koin cepek untuk kerokan.
"Masih ada paha ayam semalam, Dek. Itu aja lah. Gue mau buru-buru ambil roti ke toko Jeff. Entar warung gue telat buka."
"Kak!"
Astaga! Kepala si keriting tiba-tiba muncul dari balik pintu kamar mandi. Ngagetin!
"Apa?!"
"Seporsi aja. Buat gue. Pliiiiss? Enggak pake daun bawang, seledri boleh. Terus pake sosis kalau ada. Telor ceplok setengah mateng. Maaci kakaque."
"Mara gue—" Pintu ditutup sebelum aku sempat membalas.
Tarik napas...hembuskan perlahan. Pikirkan air terjun Niagara, pelangi yang indah, proses gutasi di ujung daun di pagi hari, suara ASMR aliran air sungai yang dangkal, jualanku habis, dan terakhir mandi duit.
"Oke gue masakin, tapi paha ayamnya buat gue!" teriakku di depan pintu kamar mandi.
"OKE!" teriak adikku dari balik pintu kamar mandi.
Yes. Semalam aku udah incer itu paha ayam goreng, tapi Ibuk langsung cegat tanganku tanpa ampun ketika melihat gelagatku hendak mengambilnya. Padahal si bungsu pulangnya selalu mendekati tengah malam atau dini hari. Dia udah pasti makan di luar. Ibuk enggak biarin aku memakannya. Sampai kebawa mimpi sedihnya tauk.
Haaah. Udah biasa sih digituin Ibuk. Terbiasa mengalah seumur hidup. Jadi, perkara ayam goreng mah, keciiil. Semoga stok sabarku masih seluas langit dikali tujuh.
"Itu nasi goreng buat siapa?" ketus Nyonya Bet. Pandangan menyipit beliau jatuh ke dua piring nasi goreng mengepul di meja makan. Perasaanku udah nggak enak.
Perkenalkan, beliau adalah ibukku, penguasa tertinggi rumah ini, meski Pak Bas—suaminya—adalah kepala keluarga kami.
"Buat Mara, Buk. Dia pengen makan nasi goreng."
Aku butuh kalori banyak hari ini. Ayam goreng, sini masuk piringku.
"Eeeeh, kenapa paha ayamnya diambil? Itu punya Mara," sergah Ibuk panik.
"Tapi Mara kan sarapan nasi gor—"
"Tetap enggak boleh. Tanya dia dulu." Ibuk mendekati anak tangga dan berteriak, "Mara, sarapan, Nak."
Cepat-cepat aku kembalikan lagi si ayam goreng ke wadahnya. Aku nggak berniat cari masalah dengan Nyonya Bet.
"Iya Buk. Bentar. Mara pake kolor dulu."
Hilang sudah mood-ku melihat ayam goreng. Ibuk... selalu begitu.
"Wah ada nasi goreng. Bapak mau." Bapak langsung menghenyakkan pantat di kepala meja, tempat beliau biasa duduk.
"Ambil aja, Pak. Cala bikin dua porsi. Satunya punya Mara," sahutku enggak semangat lagi.
"Makasih, Nak. Bapak selalu suka nasi goreng buatan Cala."
Sungguh terombang-ambing mood-ku dalam lima menit. Tadi bete karena Ibuk. Sekarang hepi gara-gara pujian Bapak. Aku pun menyunggingkan sedikit senyum untuk Bapak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Si Ikan Paus Yang Menyimpan Sampah Dalam Perutnya [TELAH TERBIT/OPEN PO]
Chick-Lit(Keluarga/romansa/chiklit/drama) [Judul lama: Niskala] Hubunganku dengan Nyonya Bet bagai love and hate relationship. Aku sangat menyayangi Nyonya Bet, tetapi beliau (sepertinya sangat) membenciku. Berkat hubungan enggak sehat itu, aku jadi terbiasa...