BAB II

114 8 0
                                    

"Kau tidak mempercayai hal aneh yang terjadi padamu, tetapi mengapa engkau membuntuti Liu Xiaoming?"

"Aku tidak ingin mengulang kembali kesalahan di masa lalu ku yang tak mengikuti suara hati. Dan mengapa kau mengikutiku?"

"Takut kau dibawa oleh Liu Xiaoming ke tempat lain."

Sebenarnya Yibo merasakan sedikit takut dengan jawaban Shuxin terakhir kali. Benar juga adanya, jika terlalu berurusan dengan roh bisa saja dibawa ke dimensi lain. Entah dapat keluar darisitu atau tidak apabila telah memasuki wilayah tersebut.

Xiaoming berdiri sedikit lama di depan sebuah rumah kuno yang tak ada penerangan. Tatapannya sendu, mengenang momen dahulu bersama istrinya yang tengah hamil muda. Setiap pulang dari ladang, selalu membawa buah tangan berupa buah atau makanan dari pasar untuk Xia He, sang istri. Xiaoming juga sangat menyayangi buah hati yang masih berada di dalam kandungan Xia He saat itu. Senang memainkan Rattle Drum untuk si bakal bayi. Bunyi dari Rattle Drum membuat bakal bayi tersebut tenang, tak banyak pergerakan membuat Xia He merasakan santai walau sejenak.

Airmata Xiaoming mulai membanjiri pelupuk mata, bahunya naik turun karena menangis sesenggukan. Yibo yang tak tega melihat kondisi Liu Xiaoming, mencoba memegang pundaknya namun gagal. Tangannya menembus pundak Xiaoming, membuat sang empu menoleh menatap Yibo dengan linangan airmata memilukan.

Yibo dan Xiaoming menduduki anak tangga menuju pintu masuk rumah, menatap ke langit yang begitu cerah berbintang. Sementara Shuxin duduk dibelakang keduanya, mencoba merapikan gaun yang ia kenakan. Yibo dapat mendengarkan helaan nafas Xiaoming sebelum memulai menceritakan alasan ia masih menjadi roh gentayangan dan tak bisa berpulang ke Suargaloka.

"Aku akan menceritakannya walau akan memakan waktu. Awal mula terjadi ketika tahun 1948, beberapa puluh tahun yang lalu."

Kembali di tahun 1948, Desa Huangshan tidak pernah dijajah oleh siapapun. Menjadikan salahsatu desa yang makmur dan damai. Sumber daya alam yang melimpah meskipun dengan sumber daya manusianya yang hanya beberapa rumah tangga. Tiap sorenya, anak kecil akan bermain berkelompok. Sementara para ibu berkumpul membawa nampan berupa barang hasil bumi atau hewan ternak yang bisa saling ditukarkan.

Namun suasana damai itu sirna saat malam Imlek tiba, monster dari Gunung Huang yang dinamakan Nian turun ke pedesaan, memporak-porandakan seisi desa dan memakan hewan ternak. Warga desa segera berlari, mencari tempat yang aman untuk mengungsi sementara. Salahsatunya Liu Xiaoming yang memapah Xia He keluar dari rumah, akan tetapi Kepala Desa memerintah Xiaoming ikut serta menjadi pasukan darurat pembasmi Nian. Xia He menangis sembari menggenggam erat kedua tangan Xiaoming tak merelakan kepergian suaminya.

"Aku akan kembali dan menyambut anak kita nantinya."

Xiaoming merengkuh tubuh mungil Xia He namun tak erat, karena tak ingin menyakiti perutnya. Xia He dipapah oleh istri dari Kepala Desa, berjalan bersama yang lain menuju gua terdekat untuk berlindung. Sementara Xiaoming telah mendapatkan panah dari Kepala Desa, bersiap melawan Nian yang tengah dihujam tombak maupun anak panah dari kejauhan. Xiaoming menempatkan posisi di balik tiang besar yang dapat menyembunyikan dirinya apabila ada bahaya. Xiaoming beberapa kali telah melesatkan anak panah kearah Nian dan cepat bersembunyi setelahnya.

Monster Nian berkepala singa dan berbadan kerbau dengan tubuh sangat besar itu tengah merintih menahan sakit yang dideranya, jalannya kelimpungan dan akhirnya menjatuhkan diri ke tanah. Nampaknya telah tewas, karena tidak ada pergerakan sama sekali. Para pasukan darurat bersorak sorai dapat mengalahkan Monster Nian, namun sorakan itu terhenti disaat ada jeritan seseorang. Sebuah potongan tangan terlempar di depan Xiaoming, membuatnya menahan jeritan. Monster Nian yang lebih besar datang dan mengamuk, nampaknya marah karena anaknya telah tiada.

Xiaoming memberanikan diri melesatkan anak panah pada Nian. Membuat pasukan lainnya mengikutinya melesatkan anak panah maupun tombak. Anak panah maupun tombak itu memang mengenai Nian, tertancap seluruhnya. Akan tetapi, Nian menggoyangkan badannya membuat anak panah maupun tombak itu terlepas dari tubuhnya dan mengenai beberapa pasukan yang mengelilingi, membuat mereka gugur seketika.

Xiaoming merasa terpojok. Anak panahnya telah habis. Jikalau melesatkan anak panah atau tombak dari kejauhan juga menjadi senjata makan tuan seperti yang telah terjadi. Netra Xiaoming mendapati Kepala Desa yang telah terkujur kaku tak jauh darinya. Nampaknya para pasukan darurat telah berguguran dan hanya dia yang dapat mengalahkan Nian. Xiaoming merangkak pelan sembari tangannya mencoba meraih tongkat milik Kepala Desa. Setelah mendapatkannya, Xiaoming berjalan mengendap-endap menuju Nian yang tengah melahap seekor sapi perah.

Xiaoming melompat kearah dada Nian bermaksud menancapkan tongkat itu tepat pada jantung. Tapi Nian cepat menyadari keberadaan Xiaoming. Nian memukuI Xiaoming kearah tiang besar, tombak yang dibawanya menjadi senjata makan tuan bagi dirinya sendiri. Dadanya tertembus oleh tombak dan menancap di tiang, ia batuk darah. Xiaoming yang hampir kehilangan kesadaran masih dapat melihat samar mentari mulai merangkak naik di langit yang semerah jambu. Nian itu beranjak pergi dari desa, tanpa belas kasih menginjak beberapa orang yang tergeletak diatas tanah.

"Maafkan aku, Xia He. Aku ingin melihatmu dan membesarkan anak kita. Tapi..."

Xiaoming mengalami batuk darah sekali lagi membuat kalimat terakhirnya terpotong. Tetesan darah dari dadanya membasahi pakaian orang yang tergeletak dibawahnya. Xiaoming akhirnya menembuskan napas terakhirnya tepat disaat Xia He berteriak dari kejauhan mendapati keadaan suaminya.

"Maka dari itu aku tak bisa kembali ke Suargaloka karena masih ada tanggungjawab membasmi Nian dan melihat kondisi istri serta anakku. Para warga Desa Huangshan yang selamat menyatakan bahwasanya Nian telah dimusnahkan. Namun sebenarnya masih bersemayam Monster Nian yang lebih buas di Gunung Huang."

Yibo mencoba mencerna dengan baik cerita dari Liu Xiaoming. Roh, dewa, makhluk atau apapun itu memang benar adanya di Gunung Huang. Sedangkan Shuxin sebenarnya telah mengetahui itu semua, ia hanya mengangguk dengan khidmat sebagai respon.

"Kita akan membantumu melumpuhkan Nian. Aku telah menyiapkan banyak kertas mantra dan telah mensucikan berbagai senjata dengan akar, tangkai, daun maupun biji dari Pohon Bodhi."

Yibo menolehkan kepalanya ke belakang, melototi Shuxin yang berbicara seenaknya. Lama-kelamaan Yibo dapat memahami sifat wanita yang memiliki pipi sedikit berisi tersebut namun memiliki bentuk tubuh yang tetap ideal.

"Kau sangat pandai berbicara."

Past Life for The FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang