Rumah kediaman Liu begitu terang, hiasan Imlek terpajang. Ada pula hiasan pohon jeruk mandarin, bunga Mei Hwa, dan tanaman bambu hoki. Yibo dibuat terpaku, Shuxin bagaikan peramal dimana perkataannya selalu menjadi kenyataan. Ada seseorang wanita tua tengah memasukkan miniatur kertas mulai dari sepatu, kemeja, celana panjang, mobil, bahkan rumah ke dalam tong yang di dalamnya berkobar api. Miniatur-miniatur tersebut pun habis terbakar. Hal itu dinamakan Jinzhi, persembahan berupa kerajinan kertas dibakar pada saat ritual pemakaman supaya roh orang yang meninggal tidak berkekurangan di akhirat.Xiaoming berdiri disamping wanita tua itu dengan tatapan begitu sedih. Ia hanya mampu melihat dan menemani dengan setia. Yibo langsung tahu bahwa wanita itu adalah Xia He. Karena disaat wanita tua itu berjalan memasuki rumah keluarga Liu, Xiaoming mengekorinya terus dari belakang. Yibo menatap alas kakinya yang nampak kotor, sungkan untuk mengikuti keduanya. Seorang wanita paruh baya menepuk pundak Yibo, membuat sang empu sedikit terkejut. Namun setelah mengetahui gerangan yang menepuknya merupakan wanita seusia ibunya, Yibo membungkukkan badan sekilas bermaksud memberikan salam.
"Apakah kau ingin berkunjung ke rumah kami? Silakan, kami baru kali ini kembali ke Desa Huangshan. Dan aku baru saja membagikan bingkisan kecil kepada tetangga."
Wanita itu menuntun Yibo menaiki anak tangga agar bergegas sampai keatas. Karena ia harus mempersiapkan upacara leluhur di dalam. Sifat wanita tersebut sungguh baik dan periang.
"Siapakah namamu Nak?"
"Yibo, Wang Yibo. Bibi sendiri?"
"Liu Xiaoqing, namamu bagus sekali sangat mencerminkan dirimu."
Yibo meresponnya dengan senyuman, sepertinya wanita itu merupakan anak dari Liu Xiaoming dan Xia He. Saat berada di ambang pintu, Yibo dapat melihat kembali Xiaoming berdiri di belakang Xia He yang tengah menyalakan dupa sembahyang. Sementara Xiaoqing meletakkan beberapa jeruk mandarin yang dibelinya tadi di stan buah. Selain jeruk mandarin, ada 11 sajian makanan lainnya yang disediakan untuk sembahyang kepada leluhur keluarga Liu, termasuk Liu Xiaoming. 11 sajian makan itu sendiri berupa ayam rebus utuh dengan saus tiram, kue keranjang, kue mangkuk, manisan, Siu Mie, telur rendaman teh, Yee Sang, kue moci, pangsit, ikan kakap, dan daging babi. Setiap makanannya memiliki makna tersendiri.
Semua makanan tersebut diatur rapi oleh Xiaoqing di Meja Abu Leluhur yang berisi foto Liu Xiaoming, lilin merah, Hio Swa, bunga sedap malam, dan dihiasi dengan kain berwarna merah bergambar naga atau binatang khas negeri Tiongkok lainnya. Lalu Xiaoqing melempar dua koin untuk mengetahui apakah Xiaoming sudah hadir. Padahal ia sudah hadir sedaritadi, aku meletakkan Rattle Drum diatas meja membuat Xia He mengenang sekilas alat mainan tradisional tersebut. Tiba-tiba saja Rattle Drum itu melayang dan dimainkan sendiri. Xia He meneteskan airmata tak mampu membendungnya.
"Maaf, sepertinya aku datang terlambat."
Yu Shuxin datang dengan gaun ciri khasnya berwarna merah. Ia membawa sebuah cermin dan meletakkannya di dekat foto Xiaoming. Xiaoqing menjerit mendapati sosok orang yang tidak berada diantaranya. Sementara Xia He menatapi cermin yang memperlihatkan Xiaoming yang telah bertambah usia tengah tersenyum kepadanya. Xia He kembali menangis tatkala sosok Xiaoming kembali menjadi muda, seperti terakhir kali bertemu dengannya di tahun 1948.
"Apakah itu ayah, Bu?"
Xiaoqing mendekati Xia He lalu memeluknya erat dari samping. Telapak tangannya mengusapi punggung ibunya.
"Ayah, kami hidup dengan baik selama ini. Maaf selama ini tidak pulang karena ibu masih tidak dapat melupakan ayah, beliau takut akan bertambah sedih jika datang kemari. Namun, kali ini kami pulang karena ibu telah siap merelakan kepergianmu, Ayah."
Di cermin, Xia He menatap Xiaoming yang menanggukkan kepala. Sosoknya perlahan memudar hingga menghilang dari cermin. Xia He mengusap airmatanya dengan sapu tangan yang baru saja diberikan oleh Xiaoqing. Ia telah merelakan kepergian Xiaoming, maka dari itu suaminya dapat pergi dengan tenang ke Suargaloka.
Shuxin memegang pergelangan tangan Yibo dan menuntunnya untuk pergi dari kediaman Keluarga Liu. Selama menuruni anak tangga, Yibo terus memandangi tangan Shuxin yang menggandeng pergelangan tangannya. Hal tersebut membuatnya tersenyum, sepertinya Yibo mempunyai rasa terhadap wanita manis itu. Shuxin mengajaknya di sebuah jembatan yang di dekatnya terdapat beberapa angsa berenang bersama di kolam begitu tenang dan menawan.
"Terimakasih banyak atas bantuannya selama ini. Aku memiliki hutang budi kepadamu."
"Jika kau menganggapnya sebagai hutang budi, aku akan menagihnya di masa depan."
Shuxin tertawa atas perkataan Yibo yang langsung terlontar begitu saja. Suara cipratan air membuat Yibo menoleh, ia mendapati seekor angsa yang berhasil menangkap ikan untuk santapan malam.
"Bagaimana jika kita..."
Saat Yibo menoleh kembali, ia tak mendapati Shuxin berada di tempatnya. Yibo membalikkan badannya dan menolehkan kepala kesana kemari akan tetapi tidak menemukan Shuxin dimanapun. Netranya mendapati sebuah anting yang dipakai Shuxin jatuh di dekat kakinya. Yibo berjongkok dan mengambil anting berbentuk bulat dengan warna merah dan putih.
"Setidaknya, ucapkanlah salam perpisahan jika ingin kau pergi. Dasar."
Anting itu Yibo simpan di dalam kantongnya, ia pun melangkah pergi menjauhi jembatan. Tak disadarinya ada seekor angsa yang mengawasinya sedari tadi.