"Kak, bangun. Your room is a mess."
Yaya membuka matanya yang terasa berat. "Uhhh... Toy? Ini Otoy?"
Lelaki itu menghela napas. "Iya kak, ini gue. Bangun, lo dicariin Bunda."
"Uhh..." gumam Yaya, bangkit duduk selagi mengacak rambut panjangnya. "Kenapa?"
"Sarapan."
Sang adik yang biasa dipanggil 'Otoy' itu berjalan santai keluar kamar sang kakak yang didominasi warna merah jambu lembut dan putih itu.
Tiba di ambang pintu, ia berhenti.
"Mmm... kak."
"Kenapa Toy?"
Otoy menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Ia menoleh pada kakaknya. "Lo... mau gue temenin jajan ke Kokotiam, nggak? Katanya enak."
Yaya melongo. Namun, sepersekian detik kemudian, ia tertawa. "Nggak usah, Toy, thanks. Gue sama Ying aja. Lo juga mau nongkrong, kan, sama temen baru lo? Sama... siapa itu, yang namanya panjang banget? Pipi?"
"Ck, apa sih kak!" Dengus Otoy. Dengan telinga memerah, lelaki itu berlalu dari pandangan Yaya. Yaya terkekeh pelan. Namun, senyumnya berubah sendu sewaktu ia menatap cerminnya.
"I'm such a mess."
Gadis itu perlahan memunguti kertas-kertas di sekitarnya, yang penuh coretan spidol merah. Sama saja dengan kulitnya sendiri.
***
"Ocho, bantuin gue angkat ini, dong! Tolong!"
"Iya, iya, bentar!"
Lelaki berambut pirang itu menghampiri laki-laki yang baru saja memanggilnya, dengan posisi topi mengarah ke depan dan lidahnya yang sedikit dinaikkan, sampai beberapa helai rambutnya mengintip. "Masa nggak kuat bawa beginian doang, sih, Blaze? You're more than capable to do so."
Blaze mengernyitkan dahi. "Bukannya berat, tapi ini banyak banget, Ocho. Gue nggak bisa lihat!"
"Iya deh, terserah lo, Blaze."
"Blaze?"
Keduanya menoleh pada sumber suara. Fang melepas sebelah earphone ungu gelap di telinganya.
"Hai Pang!" Sapa Blaze riang nan ramah.
"FANG!"
Blaze terkekeh. "Hehe. Pagi amat lo dateng, tong, ini toko kakek gue buka juga belum kali."
"Ya biarin. Gue udah janjian juga sama Ying."
Blaze tersenyum tengil sembari mulai menyusun meja kafe sang kakek. "Ahai, cie, pacaran."
"Berisik, dasar jomblo sirik."
Blaze tertawa mengakak sambil tetap bergerak. "Jomblo sih gue, tapi gue nggak sirik, wlee! Ngapain gue sirikin lo, kurang kerjaan kali gue."
"Kan lo emang kurang kerjaan."
"Mata lo buta, ya?!" Teriak Blaze, melemparkan lap pada wajah Fang. Telak. "Lo, tuh, kurang kerjaan! Bantuin gue dulu, dasar NT!"
"Hah! Gue nggak NT, ya! Sembarangan!"
"Bacot lo, bangsat!"
Ocho menjewer telinga Blaze. "LANGUAGE!"
Blaze mengaduh-aduh, termisuh-misuh. "Aduh-aduh, Ocho! Iya, iya! Hah, kamu ini udah kayak Emak aja. Hih!"
Laki-laki berambut pirang itu mendengus, melepaskan jewerannya pada telinga Blaze. "Blaze, no harsh words. Kalo ketahuan Atok lo bisa lebih parah dari ini, masih bagus cuma kedengeran sama gue suara lo yang menggelegar itu."
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Were Four
RomanceDulu, saat umurku empat, aku bahagia. Dulu, saat umurku empat, aku tertawa. Dulu, saat umurku empat, aku berwarna. Dulu, saat umurku empat, aku utuh. Sekarang, setelah kita tahu Bahwa dunia tak sesederhana saat kita masih berumur empat tahun Masih b...