"BOBOIBOY! OH MY GOD!"
"JATUHIN! JATUHIN CUTTERNYA BOBOIBOY!"
Bunyi besi berkelontang di lantai. Sekujur tubuh laki-laki itu gemetar. Pupilnya mengecil dan tampak kosong. "O-O-O-Ocho?"
Lelaki pirang itu segera mengamankan benda tajam itu, menjauhkannya dari jangkauan remaja berambut berantakan yang pucat dengan tangan berlumur darah di hadapannya. Tangannya menggapai jemari remaja itu.
Ia tampak seperti seorang anak kecil yang ketakutan.
"Iya. Iya, ini gue. Ini gue. Ya Tuhan... Boi, Boi... lo kenapa Boi? Lo gapapa? Wait, of course you're not fine, dammit... sebentar gue ambilin perban... Boboiboy, ya Tuhan... sekarang tenang dulu, tenang... ambil napas... ya? Pelan-pelan. Tutup mata. Ambil napas lagi... bagus..."
Napas remaja itu perlahan memelan. Laki-laki pirang di hadapannya memeriksa denyut nadinya yang mulai kembali normal. Ocho menghela napas lega.
"Boboiboy, gue ambilin perban. Stay right there, alright?"
Masih memejamkan mata, lelaki itu mengangguk.
Ia dapat merasakan sebuah tangan menyentuhnya lembut, sebuah tangan yang mulai terasa kisut namun kokoh.
"T-tok Aba?" Gumam Boboiboy.
"Iya Boi, iya. Atok di sini..." sang kakek menggenggam tangan Boboiboy yang tak berlumur darah. Tangan satu lagi mengelus punggung Boboiboy lembut. "Kamu nggak sendirian, Boboiboy. Atok di sini, Ocho juga di sini... jangan ninggalin kita dulu ya nak?"
Boboiboy kembali mengangguk pelan, gemetar.
Ocho membalutkan perban pada lengan Boboiboy. "Right when I started to trust you with sharps. No more metal in your room, young man."
Boboiboy berhasil memaksakan tawa kecil keluar. "Umur kita kan... sama..."
Ocho menggenggam tangan Boboiboy yang telah diperbannya erat-erat. "Boboiboy, jangan tinggalin gue," bisiknya.
Tidak ada yang berbicara untuk beberapa saat. Udara hanya diisi deru napas Boboiboy yang perlahan memelan.
Mata laki-laki itu perlahan terbuka. "Boboiboy udah mati, Ocho."
Genggaman Ocho makin erat di tangannya. "I don't care who you are," gumamnya gemetar. "Consider staying alive, Boi."
***
"Oiii! Eh Boboiboy, kenapa lo pake perban bjir? Lagi cosplay Dazai? Habis kepentok apa lo?"
"Entahlah. Bangun-bangun udah kek gini. Males mikir dah ah gue juga. Bodo amat."
"Alah, dasar pelupa. Masa kejadiannya sama lo sendiri juga lo lupa. Ntar lo lupa nama gue lagi."
Boboiboy hanya meringis. "Yaelah bang, itu udah jaman dulu bangettt kali. Masa masih mau dibawa-bawa sih?"
Gopal menatapnya. "Masih! Masa lo panggil gue Arumugam?"
"Ih, pendendam banget. Ew."
"Kalo gue teken, sakit nggak?" Tanya Fang tiba-tiba.
"Hm? Entah ya, mana gue tahu—ANJING FANG SAKIT GOBLOK!"
Fang melepaskan tangannya tanpa rasa bersalah. "Oh, sakit ya."
Boboiboy menoyor kepala Fang. "Woi jamet! Sakit anying!"
"Yaudah sih maap. Sensi amat kaya merek masker."
"Jokes lo basi."
"Babi." Fang memiting leher Boboiboy, membuat cowok itu berteriak ala diva.
"Hoi! Depan gerbang sekolah juga masih mau berantem hah?!"
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Were Four
RomanceDulu, saat umurku empat, aku bahagia. Dulu, saat umurku empat, aku tertawa. Dulu, saat umurku empat, aku berwarna. Dulu, saat umurku empat, aku utuh. Sekarang, setelah kita tahu Bahwa dunia tak sesederhana saat kita masih berumur empat tahun Masih b...