05: Painkillers Do Not Heal

60 7 0
                                    

Yaya membuka mata, mendapati pandangannya gelap. Ia berusaha menarik napas kasar, tanpa udara yang terasa memasuki rongga hidungnya. Panik mengabur di kepalanya. Suara-suara terus meneriakkan sesuatu yang kabur. Kepalanya berdenyut sakit. Potongan-potongan mimpi buruknya menghantuinya. Jantungnya berpacu seolah ia ingin meloncat keluar. Kepalanya terasa ingin pecah.

"Ya? Yaya? Lo denger gue? Lo bisa denger gue?"

Yaya menggenggam lengan Ying, napasnya terengah-engah. Ia memaksakan anggukan kecil.

"Yaya, sayang, lo bisa bicara sekarang?"

Yaya menggeleng.

"Oke. Gue ngerti. Gue ngerti. Sekarang gue bakal lepasin tangan lo dari gue... is that okay?"

Yaya mengangguk.

Ia merasakan tangan Ying menyentuh jemarinya lembut, melepaskan genggamannya pada lengan Ying. Ia bisa mendengar saklar lampu, bunyi tirai ditarik. Sinar mentari menyusup masuk. Lampu menyala, membuat benak Yaya sedikit lebih tenang.

"Yaya, lo mau sendiri atau lo mau gue nemenin lo? Geleng kalo sendiri, angguk kalo nemenin."

Sendirian terdengar menggiurkan, tapi Yaya tahu ia tidak bisa membiarkan dirinya sendirian.

Ia mengangguk.

Ying menggenggam tangannya, mengelus punggung tangannya perlahan.

Yaya tidak tahu berapa lama waktu berlalu. Napasnya memelan, pandangannya semakin jelas meskipun segalanya masih sedikit kabur.

"Yaya?" Panggil Ying lembut.

Gadis itu memeluk Ying, mengetukkan kode morse yang suka mereka gunakan dulu untuk menyalurkan rasa terima kasihnya. Ying mengelus punggungnya, membisikkan kata-kata penenang tanpa henti.

Ia tidak tahu bagaimana Ying tahu cara mengatasi panic attack, tapi Yaya teramat bersyukur bahwa ia punya Ying sebagai sahabatnya.

***

"Ying..."

"Udah tenang?" Ying bertanya lembut.

Yaya mengerjapkan mata. Ia tersenyum kecil. "Udah. Makasih banyak ya."

"You know I'm here if you need me." Ying menepuk tangan Yaya lembut.

"I don't know how to live without you, Yi."

"Oh, you better not."

Yaya tertawa kecil. Ia mendekat pada Ying. "Maaf karena ngerepotin. Padahal kita lagi seneng-seneng."

"Nggak apa-apa. Our friend group have been through a lot of those." Ying terkekeh pelan.

"That reminds me..." Yaya mengangkat kepala, menoleh pada Ying. "Kok lo tahu gimana cara nenangin gue tadi?"

"Told ya. We've been through those. Fang pernah ngalamin yang kayak lo sebelumnya. Gopal dan Boboiboy lebih biasa lagi ngeadepin ginian. What was that? Panic attack? PTSD?"

"Some sort of dua-duanya. Gue juga nggak paham. Too many things happened in the same time. Too many things jumbled in my head. Voices shouting in my head."

Ying mengangguk paham, menyisiri rambut Yaya dengan jari. "Lo udah sholat?"

"Udah. Tadi kan gue tidur lagi." Yaya mengusap wajahnya. "Itu karma kali ya soalnya tidur habis Shubuh."

Ying tertawa. Yaya selalu suka suara tawa Ying, seperti bunyi lumba-lumba. Gadis berambut biru itu memeluk Yaya dari belakang. "Kaaan? Udah gue bilang, ikut gue lari pagi!"

When We Were FourTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang