"Oiii, gimana tadi ujiannya Boi?"
Laki-laki bertopi miring sedikit di balik meja melepas kacamata berbingkai perak-jingganya, meletakkannya di atas meja. "Jangan tanya gue lah, buat gue mah cepil. Perlu gue ambilin kaca?"
"Dih najis. Sombongnya udah menembus langit ketujuh," gerutu Gopal. "Udahlah Fang! Ayo kita ke kantin. Si kutu buku nggak asyik diajak kemana-mana!"
"Ya gue kutu buku juga masih ganteng bjir, emang lu?"
Fang tertawa. "Bangsat, bener lagi. Meski masih gantengan gue sih yak."
Gopal memandang Fang tak percaya. "Emang gue doang yang bener di dunia ini."
"Alay."
"Alay."
"Haters, cuih."
***
"Yaya beneran nggak ke kantin nih?"
Yaya menggeleng. "Nggak deh, masih kenyang. Kalian aja duluan."
"Oke, dah Ya!"
Yaya menghela napas, menatap jendela.
Ia menekan tangannya dalam-dalam. Jangan gemetar, jangan gemetar, jangan...
It trembles.
Damn it.
Yaya membenamkan wajah di lipatan tangannya, mengerang keras-keras. Fuck. Get it together, Ayana Hannah.
Gadis itu berdiri. Linglung mencari perpustakaan. Setidaknya di jam istirahat siang begini harusnya semua orang sedang makan, kan? Kalau jam pelajaran kelas Ying tidak ditabrak sih dia tidak akan keluyuran di koridor mencari perpustakaan begini.
Yaya membuka pintu kayu dengan plakat bertulisan 'perpustakaan'. Udara dingin ber-AC berhembus pelan.
Yaya menutup pintu di belakangnya. Perpustakaan itu kira-kira besarnya satu setengah ruang kelas. Dengan sofa tepat di depan pintu, dan dilanjut dengan meja pustakawan (terus terang, Yaya pikir bentuknya mirip meja bar). Meja baca dan kursi dilanjut dengan karpet melintangi lantai dari ujung ke ujung. Rak buku menutupi dinding dan membuat sekat, menyisakan tempat leyeh-leyeh di satu bagian perpustakaan, dilengkapi bantal-bantal warna-warni dan bean bag hijau sage yang Yaya yakin pasti jadi objek rebutan setiap orang. Seolah sekolah merasa itu semua belum cukup aesthetic, perintilan-perintilan kecil ditambahkan di sana-sini—bingkai motivasi di dinding, book review ala booktok dijepit dengan jepit kayu di wire grid wall hitam, stoples kaca berisi kertas-kertas tergulung dengan tulisan 'jar of words' bertengger manis di meja pustakawan, rangkaian bunga di meja baca, kaca berbingkai krem di dinding. Buku-buku disimpan rapi, menempati meja baca, rak buku, bahkan di samping meja pustakawan.
Dan perpustakaan itu wangi. Seperti lemon dan mint.
Yaya jatuh cinta.
"Oh my god, this is heaven," bisiknya.
Ia menelusuri rak novel dan memilih buku As Long As The Lemon Trees Grow sebelum duduk di bean bag hijau di pojok.
"Woi."
"Hm?" Yaya menoleh. Seorang laki-laki bertopi miring 45 derajat duduk di salah satu kursi baca, sebuah buku Solomon-Fhyers terbuka di hadapannya.
Dia lagi, dia lagi.
"Apa?" Tanya Yaya.
"Scan kartu. Udah belum?"
"H-hah? Scan apaan?"
Boboiboy menuding alat hitam di atas meja pustakawan yang berkelip hijau. "Kartu perpus. Buat absensi." Ia mengernyitkan dahi, lalu mencondongkan tubuhnya. "Lah lo baru, ya? Udah dapet kartu murid belum?"
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Were Four
RomanceDulu, saat umurku empat, aku bahagia. Dulu, saat umurku empat, aku tertawa. Dulu, saat umurku empat, aku berwarna. Dulu, saat umurku empat, aku utuh. Sekarang, setelah kita tahu Bahwa dunia tak sesederhana saat kita masih berumur empat tahun Masih b...