"Lo pernah baca-bacain ini semua nggak sih? Serius deh."
"Menurut lo aja sih Ocho."
"Habisnya lo buang-buang duit beli sticky notes. Serius nih, lo suka bacain ini gak sih Sol?" Ocho menoleh pada laki-laki berkacamata di sampingnya, yang juga sedang menatapi dinding penuh sticky notes di kamarnya.
"Pernah lah." Solar mengambil satu kertas kuning yang jatuh ke lantai. "After all, ini semua kan cerita gue." Ia menempelkan kertas itu di dinding dan menoleh pada Ocho. "Gue harus tahu kisah hidup gue sendiri kan?"
"Bukannya lo ada karena lo mau melupakan?"
"Emang," gumam Solar kosong, menelusurkan telunjuknya pada kertas hijau. "Because man, life is fucked and I'm a fucking coward. Tapi gimana juga itu toh kisah gue. Mau gue ngelupain apa nggak, lukanya udah ada. Wounds become scars, and scars remain."
Ocho menatapnya sebentar, kemudian menggelengkan kepala. "Lucu denger hal itu dari lo. Oke, gue tunggu lo di bawah bareng Atok buat sarapan."
"Oke." Solar menatap dinding yang dipenuhi kertas warna-warni itu beberapa lama.
"I want to meet you guys in person. How broken are we, actually?" Bisiknya.
Ia keluar dari kamarnya, menuruni tangga untuk sarapan dengan keluarganya.
***
Yaya memijat pelipisnya. "Ini kenapa lagi sih proposal kerja sama kok jadi kayak gini? Yang kemarin udah bagus lho. Kalau kayak gini jadinya bukan standar perusahaan, kurang cocok. Ntar kalo nggak di-approve sama perusahaannya siapa yang mau jadi sponsor? Kita kan target mau ke BI."
"Bukan gue yang ngerjain, Ya. Kemaren itu debat mau kayak gimana sama beberapa anak-anak BPH kayak Sai sama anak-anak sekre akhirnya diganti semua gini. Nggak paham lah gue, gue capek."
Yaya mengerang. "Boys. Nanti gue ngomong ke Sai. Tolong diperbaikin lagi ini proposalnya kayak yang sebelumnya aja. Menurut gue udah sesuai tema kok yang itu juga. Kerjainnya coba sama anak fundra yang ngurusin sponsor biar approval sama mereka aja yang ngerti. Tolong ya Hau."
Haura—ketua divisi dekorasi dan design—menghela napas. "Oke, nanti gue bilangin anak-anak. Gue infoin lo lagi kalau udah jadi nanti ya."
"Great. Thanks. Love you. Terus Shiel, lo kadiv lomba kan ya? Ini template rulebook udah ada, ntar gue kirim ke lo via chat—lo punya nomor gue nggak sih? Nanti lo kirim ke anak-anak lo. Ngomong-ngomong siapa yang ngurusin rulebook umum? LO? Nah nanti lo tolong kirim template-nya ke Farah juga bisa nggak? Soalnya template rulebook umum juga sama. Makasih ya Shiel."
Shielda tersenyum. "No problem. Udah tugas gue. Ngomong-ngomong, you seem to be in desperste need of rest. What happened?"
"Nothing. Worn out. Tadi malam begadang buat ujian kimia hari ini. Sekaligus nyelesain tugas dari Sai."
"Ouch. Sampe jam berapa tuh?"
"Dua. Mata gue keliatan panda ya?"
Shielda menelengkan kepala. "Nggak juga sih. Mata lo bukan tipe yang kantung matanya kelihatan. But damn, two is insane. Jangan lupa istirahat juga, Ya. Festival masih lama, jangan drop dalam waktu dekat."
Yaya terkekeh. Udah drop kok. "Noted."
"Oke. Gue balik kelas ya. Semangat sekjen!"
"Iyaaa." Yaya menghela napas panjang begitu Shielda hilang dari pandangan. Ia menjatuhkan kepala ke meja. Hilanglah sudah selera makannya. Ia bahkan tidak yakin ia bisa berdiri untuk memesan.
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Were Four
RomanceDulu, saat umurku empat, aku bahagia. Dulu, saat umurku empat, aku tertawa. Dulu, saat umurku empat, aku berwarna. Dulu, saat umurku empat, aku utuh. Sekarang, setelah kita tahu Bahwa dunia tak sesederhana saat kita masih berumur empat tahun Masih b...