"Heeei! Yaya!"
Gadis berkerudung itu menoleh, dan tersenyum cerah. "Ying!"
Ying, gadis berdarah China berkacamata bulat dan berkupluk, memeluk Yaya dan tertawa. "Yayaaa! Lo beneran pindah! Sayang banget kita gak sekelas. Tapi gapapa! Aaah! Gue kangen banget sama lo! Gimana kabar? Baik? Pasti baik lah ya, ini kan Yaya!"
Yaya tertawa. "Pelan-pelan dah, Ying, berasa diberondong peluru gue. Iya, gue kangen lo juga."
Ying melepaskan pelukannya, masih dengan cengiran lebar di bibirnya. "Mau ke kantin?"
"Boleh!"
Yaya mengekor Ying beranjak dari kelas mereka, lagi-lagi terhenti.
Lagi-lagi karena dia.
Lelaki bertopi jingga yang entah kenapa sekarang berubah posisi, tertawa terbahak-bahak dengan angin memainkan tepian rambut yang tampak.
Dia terlihat seperti orang yang berbeda.
***
"Eung... lo mau apa Fan?"
"Gue aja yang ambil, Pal!"
"Nggak, nggak. Lo diem sini, gue pesenin bakso aja mau gak?"
Lelaki bertopi itu mendengus. "Okelah. Nih, pake duit gue aja."
"Hoooh! Serius, Fan?" Seru Gopal senang. Kalau begini, dia tidak perlu buang duit dan membuat Amma-nya marah.
Boboiboy menyeringai jahil. "Iya, serius. Asal nanti lo bantuin gue prank si Fang."
"Aman, asal bukan Bang Kaizo aja sih. Hih, gila banget pas lo ketahuan dulu, gila."
Lelaki bertopi itu hanya diam. Wajahnya mengerut bingung. "Kapan tuh?"
"Oh. Mmm... bukan apa-apa. Eh, lo bakso campur kan?"
"Yoi men, sambelnya dikit aja ya!" Seru Boboiboy, yang dibalas dengan acungan jempol Gopal.
Boboiboy mengeluarkan ponselnya, mulai bermain online game disana. Sesekali ia merutuk kecil, tapi senyum tak pernah meninggalkan wajahnya yang cerah dan jahil.
"Oi, Boboiboy! Lo sendiri kah? Boleh gabung gak?"
Yang disebut mengangkat kepala. "Ying? Duduk aja! Gue cuma berdua kok sama si Gopal. Lo sendiri?"
Ying tersenyum. "Ini temen gue pas SMP yang gue cerita ke kalian waktu itu, namanya Yaya!"
Yaya tersenyum. "Halo... Boboiboy, ya? Kenalin, gue Yaya."
"Hai Yaya! Iya tau nama gue aneh. Panggil 'Boi' aja juga gapapa kok, hehe," ujar Boboiboy dengan cengiran.
Yaya tersenyum. Boboiboy lebih ceria dari bayangannya.
"Oi, Ufan!"
Boboiboy menoleh. "Hei, Gopal! Eh—lo ngapain beli tiga mangkuk bego, berdua doang kita."
"Ya buat gue lah. Mumpung ditraktir elu," jawab Gopal ringan, meletakkan ketiga mangkuk di meja. "Dompet teman itu harus dimanfaatkan, hahaha! Eh ada Mak lampir di sini, apa kabar Mak?"
"Siapa lo bilang Mak lampir, Hah?" Ying melotot. Gopal mengangkat tangannya.
"Ampun, Mak lampir!"
Boboiboy tertawa terbahak-bahak, menepuk meja berkali-kali. Yaya terkekeh. Lelaki ini receh sekali. Biasanya Yaya berpendapat bahwa orang-orang yang seperti itu hanya mencari perhatian, tapi bukan orang ini.
"Ying, gue ambil pesenan dulu ya," kata Yaya, berdiri karena tampaknya pesanannya tadi sudah siap.
"Ah, iya."
KAMU SEDANG MEMBACA
When We Were Four
RomanceDulu, saat umurku empat, aku bahagia. Dulu, saat umurku empat, aku tertawa. Dulu, saat umurku empat, aku berwarna. Dulu, saat umurku empat, aku utuh. Sekarang, setelah kita tahu Bahwa dunia tak sesederhana saat kita masih berumur empat tahun Masih b...