Yang Lebih Baik - 7

2.3K 402 22
                                    

Hubungan Vica dan Arva sempat renggang setelah hari itu. Selama beberapa hari Vica tampak menghindari Arva. Sikapnya juga canggung setiap bertemu Arva.

Arva sendiri, kalau menuruti egonya yang tersakiti karena ditolak dengan alasan klise, sebenarnya ingin mengabaikan saja gadis itu. Tapi bagaimanapun, sebelum ide tentang perjodohan itu muncul, Vica adalah adik iparnya. Dan mereka masih tinggal serumah. Jadi meski gadis itu sudah menolaknya dengan alasan yang tidak masuk akal, Arva berusaha untuk menerimanya. Ia tidak ingin hubungannya dengan Vica menjadi buruk.

Jadi di suatu hari, Arva menghampiri Vica yang sedang mencuci piring sendirian di dapur, dan mencoba kembali membuka percakapan diantara mereka.

"Gimana kerjaan, Vic?" tanya Arva, memulai dengan basa-basi.

Hampir saja piring di tangan Vica yang penuh busa sabun tergelincir, gara-gara kaget dengan kedatangan Arva.

"Astaghfirullah Mas! Kebiasaan banget, dateng diem-diem trus ngagetin!" Vica membentak.

Dan seperti selalu, meski dibentak begitu, Arva malah terkekeh. "Kamu yang kebiasaan bengong, jadi nggak sadar saya dateng."

Vica manyun, malas menanggapi. Terutama karena tiba-tiba teringat bahwa sudah beberapa hari terakhir mereka tidak bertegur sapa. Hal itu membuat suasana jadi canggung diantara mereka.

"Mas mau ngapain?" tanya Vica ketika melihat Arva mengambil piring yang baru saja ia cuci dengan sabun.

"Bilas piring."

"Nggak usah, nggak usah! Sana, hush, hush!"

Vica mendorong Arva ke samping dengan lengan dan tubuhnya. Tapi postur tubuh Arva yang tinggi besar tentu tidak mudah dikalahkan oleh tubuh gadis yang kecil itu.

"Lagian, tumben amat bantuin cuci piring," Vica menambahkan sindiran, supaya Arva menyingkir. Tapi laki-laki itu bergeming.

"Supaya kamu nggak marah lagi sama saya," Arva mengungkap motifnya.

"Siapa yang marah sama Mas?" Vica ngeles.

"Nggak marah, tapi nggak ngomong sama saya berhari-hari?"

Kali itu Vica bungkam, tak menjawab lagi. Sebenarnya dia bukannya marah pada Arva. Tapi untuk memulai percakapan kembali, setelah obrolan mereka yang terakhir berlangsung buruk dan menggantung, Vica bingung juga. Makanya dia sengaja menghindari pria itu agar tidak perlu bingung berbasa-basi.

"Maaf ya," kata Arva. "Saya nggak akan maksa kamu nikah sama saya lagi. Tapi kamu jangan jutekin saya lagi ya."

"GR! Siapa yang jutekin situ!" Vica menggerutu pelan, dengan kepala menunduk sambil menyabuni piring-piring. Arva bisa mendengar gerutuan itu, tapi ia hanya tersenyum.

"Kerjaan gimana, Vic?" Arva mengalihkan percakapan, sambil melanjutkan membilas alat-alat makan yang telah dicuci oleh Vica.

Vica mengangguk-anggukkan kepala. "So far so good," jawabnya.

"Kamu nggak pernah cerita mau kerja disana," kata Arva. "Kalau tahu kamu mau ngelamar di perusahaan seperti itu, mendingan kamu ngelamar di kantor saya. Sama-sama perusahaan food-beverage."

Arva bekerja di HW Foods, sebuah industri food and beverages yang cukup terkenal di Indonesia. Dan ternyata kini Vica justru bekerja di industri food and beverages lain yang menjadi pesaing utama HW Foods.

"Tadinya aku ngelamar ke divisi consumer goods-nya, Mas. Eh tapi malah ditawarin posisi Management Trainee. Nah, untuk MT ini, tiap 6 bulan selama 2 tahun pertama aku bakal pindah-pindah divisi, sampai akhirnya nanti aku ditetapkan di divisi tertentu. Enam bulan pertama ini aku ditempatkan di food-beverage," Vica menjelaskan."Lagian ada bagusnya juga kita kerja di perusahaan yang beda Mas. Makanan yang kita dapet dari sample gratisan bisa lebih variatif. Nanti bingkisan lebaran juga lebih lengkap jenisnya."

SLICE OF LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang