Suasana malam cukup hening, tak ada suara jangkrik yang biasa bersahutan memanggil satu sama lain. Begitu pun langit malam hanya kosong tanpa bintang atau bulan. Tersisa awan gelap saja yang menggantung di awang-awang langit sana.
Sama seperti suasana malam, saat ini ruang makan di kediaman Langit bersaudara juga tak ada bedanya. Tidak ada kebisingan yang tercipta hanya suara sendok yang beradu berdenting sedang menyelingi makan malam mereka. Bahkan, Agan yang sering menjadi pemicu keributan diantara mereka terlihat anteng duduk di kursi menikmati makan malam miliknya.
Sapta yang baru menyelesaikan tugas, baru saja bergabung dengan saudaranya yang lain. Menarik kursi dan duduk di kursi miliknya bergabung bersama saudaranya, menatap semua keenam kakaknya satu persatu. Seperti ada yang kurang, pikirnya.
"Hm, Ayah mana Mas?" tanya Sapta pada Tala yang duduk tepat di samping kanannya.
Sapta yang menyadari bahwa ada sesuatu yang kurang. Yaps, Ayah tidak ikut makan malam bersama Langit bersaudara malam ini. Oleh sebab itu, Sapta menanyakan keberadaan sang Ayah kepada kakak kelimanya, tetapi Tala hanya menggeleng sebagai jawaban. Jujur saja, Sapta tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Kakak kelimanya itu. Ia tau jika Tala sangat irit bicara, tapi apa maksud gelengan itu? Tidak tau atau tidak lainnya.
"Ayah belum pulang," ucap Dwi menjawab pertanyaan Sapta, Dwi tahu jika adik bungsunya tidak puas dengan jawaban yang diberikan oleh Tala.
"Tumben," lirih Sapta sambil melirik keenam kakaknya yang sedang menyantap makan malam.
"Tapi, ini beneran Ayah belum pulangkan. Bukan karena..." perkataan Sapta terhenti begitu saja saat Dwi menatapnya dengan tatapan begitu tajam.
"Makan dulu dek, abisnya minum obat terus istirahat. Jangan mikirin macem-macem, Ayah baik-baik aja kok. Lagian, bukan cuma sekali dua kali ini aja Ayah pulang malam. Ini udah biasa, apalagi kalo soal kerjaan," jelas Agan pada adik bungsunya dan diangguki oleh semua saudaranya tanda mereka setuju dengan perkataan Agan, jujur Agan takut adik bungsunya ini malah kepikiran dengan sang Ayah.
"Iya bener kata Bang Agan, adek kan juga baru sembuh. Cepat makan, minum obat, abis itu istirahat." celetuk Cakra dari tempatnya yang tepat berhadapan dengan Sapta.
"Udah dek, gak usah pikirin. Ayah memang lagi kerja, tadi udah nelpon sama Mas kalo malem ini bakal pulang agak malam," sambung Gala untuk ikut meyakinkan adik bungsunya.
Gala berkata jujur, sebelum makan malam tadi Ayah memang menelponnya dan mengatakan akan pulang lebih malam dari biasanya karena ada suatu urusan yang harus diselesaikan. Merasa puas dengan jawaban yang diberikan oleh saudara-saudaranya, Sapta pun mengangguk mengerti.
Langit bersaudara benar-benar makan dengan tenang dan menandaskan makan malam tanpa sisa, hanya piring dan gelas kotor yang menjadi sisa dari makan malam mereka. Selesai dari kegiatan makan malam bersama, satu persatu dari mereka mulai bangkit dari kursi dan kembali ke kamar masing-masing.
Namun berbeda dengan Aksa, disaat saudaranya yang lain beranjak untuk istirahat setelah makan malam, Aksa malah memunguti piring kotor sisa makan malam mereka tadi. Melihat apa yang dilakukan Aksa ini, Langit bersaudara sudah bisa menebak jika lagi-lagi laki-laki itu pasti sedang merasa terbebani dengan skripsinya, mungkin revisi yang diserahkan kembali ditolak. Bukan hal asing lagi, jika Aksa tiba-tiba ditemukan sedang mengerjakan pekerjaan rumah, berarti Ia sedang mencari inspirasi untuk tulisan skripsinya.
"Kalo ngerjain kerjaan rumah kek dapat hidayah buat ngerjain skripsi"
Begitulah kalimat yang Aksa ucapkan saat ditanya mengapa suka mengerjakan pekerjaan rumah alih-alih mendahulukan skripsi sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit 7
Fiksi PenggemarWaktu demi waktu telah berlalu. Tetapi selama itu, waktu yang berputar, terasa masih berada pada saat itu saja. "Mas tau, Langit ke 7 itu jauh." "Iya, tau." "Sejauh mana mas?" "Jauh, sejauh di mana apa yang berada di langit 7 itu gak bisa dilihat da...