Between Us

1.7K 107 10
                                    

Sejauh mata memandang, hanya ada tebing dan gundukan tanah tanpa pohon apalagi hijau-hijauan. Alat berat terparkir di banyak tempat. Dewo duduk di salah satu pinggir tebing sendirian. Masih lengkap mengenakan helm dan rompi proyek, Dewo menikmati sisa waktu dirinya bisa melihat sunset di tempat kerja.

Seseorang mendesah. Duduk di samping Dewo sambil membawa bingkisan kecil.

"Em, Wo. Boleh gabung?"

Dewo menoleh. Tersenyum menatap Rhea, teman kerjanya yang jelas-jelas sudah duduk lebih dulu sebelum meminta ijin.

"Hem. Boleh."

Mereka kemudian diam. Terus menikmati seperti apa suasana sore area tambang dengan pikiran masing-masing.

Dewo pasti merindukan momen sunset di sini suatu saat nanti. Kontrak kerjanya selesai setelah 5 tahun bekerja sebagai operator mesin di area tambang. Tidak ada niat untuk memperpanjang kontrak bukan berarti Dewo tidak menyukai pekerjaannya, tapi Dewo merindukan rumah. Tempat dimana Dewo juga bisa bersama teman-temannnya. Melihat makam Idang dan Ibunya. Dewo rindu.

Bingkisan kecil yang dibawa Rhea tadi tiba-tiba disodorkan ke Dewo. Mengalihkan fokus Dewo pada sunset di ujung tebing.

"Ini ... cokelat."

Dewo menahan senyum, masih belum menerima. "Rhe, ini bukan valentine."

"Nggak harus valentine buat ngasih cokelat orang yang disuka kok, Wo."

"Gue nggak suka cokelat, Rhe."

"Kan belum dicobain. Enak kok. Citra aja suka!" Rhea masih memaksa Dewo agar menerima bingkisannya.

Namun, Dewo hanya menggenggam bingkisan tersebut, lalu mendorongnya ke Rhea sambil tersenyum manis.

Penolakan kesekian dari Dewo untuk seorang Rhenita Kiyoshi, atau akrabnya dipanggil Rhea. Teman kerja Dewo selama kurang lebih tiga setengah tahun dan berumur dua tahun lebih muda daripada Dewo. Beberapa bulan lalu, Rhea pernah mengungkap perasaannya ke Dewo secara terang-terangan. Meski Dewo sudah meminta maaf karena tidak memiliki perasaan yang sama, semangat Rhea tidak gampang padam.

Terus memperhatikan Dewo. Membawakan banyak makanan atau minuman kesukaannya, sampai mengucapkan selamat pagi dan mimpi indah ke nomor Dewo yang bahkan tidak pernah mendapat balasan—kecuali itu SMS penting. Dewo terlalu cuek. Dewo terlalu simple menganggap Rhea hanya lah teman. Sikap yang justru membuat Rhea tergila-gila pada Dewo. Tapi, sekali lagi, Sadewo tetap lah sosok Sadewo yang sulit digapai Rhea.

Wajah kecewa terlihat. Rhea menatap nanar bingkisan di atas pangkuannya sambil berpikir.

"Nggak mau nyobain satu aja?" bisik Rhea serak.

Bukannya menjawab, Dewo justru mengeluarkan HP. Membuka galeri dan salah satu foto favoritnya yang selama ini jadi obat tidur Dewo saat dirinya diserang insomnia.

Dewo menunjukkan layar HP dengan foto kekasihnya yang tersenyum lebar ke Rhea.

"I try to be a good boy for her," ucap Dewo sambil senyum.

Rhea makin menatap nanar layar HP Dewo. Baru kali ini ia diperlihatkan secara nyata sosok kekasih Dewo. Cantik, manis. Tanpa riasan sedikit pun dan memiliki bibir pink indah yang didambakan banyak wanita. Mata Rhea berair. Tak sengaja air mata tersebut juga turun ke pipinya yang langsung diusap kasar dengan punggung tangan.

"Maaf, Rhe."

"Nggak kok. Nggak apa-apa. Kena debu tadi," ucap Rhea masih sibuk menyingkirkan air mata yang justru sulit berhenti.

"Rhe." Dewo memegang lengan kiri Rhea. "Jangan nangis."

"Enggak kok, Wo, nggak nangis ...," jawab Rhea justru berbeda dari kenyataan. Ia menangis sesenggukan.

Heartbreak Anniversary [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang