05

428 74 5
                                    

Rumah besar itu tampak sepi dari luar. Gerbangnya pun terkunci yang membuat Giandra sedikit lega tentang keberadaan kakak perempuannya. Turun dari mobil sebentar untuk membuka gerbang, memarkirkan mobil ke garasi utama. Giandra lalu menyuruh Anggi turun dan menunggu di kursi teras, sementara Giandra menutup gerbang rumahnya lagi dan pintu garasi.

Kepala Anggi memutar. Menoleh kanan-kiri sekilas. Giandra tahu wanita itu tengah meneliti rumah besar kedua orang tuanya yang asri dan terawat. Memang, meski enam bulan berlalu tanpa keberadaan Hening lagi, rumah tersebut masih begitu terawat karena tangan Wintang yang cinta kebersihan. Bahkan, Giandra sampai mengira kalau Wintang pengidap OCD. Ketika gadis itu melihat barang atau sesuatu di rumah mereka ada yang tidak presisi, Wintang gatal. Harus membenahinya secepat mungkin atau gadis itu tidak bisa tidur dengan mata terutup.

"Ganti sendalmu, Nggi."

Anggi mengerjap ketika Giandra memberinya sandal rumahan bulu-bulu yang imut.

"Oh, makasih. Rumahmu wajib pake sendal ya, Ndra?"

"Iya, maaf, udah kebiasaan dari orang tua."

"Ini juga sendal khusus buat tamu?"

Giandra tersenyum, menggeleng ketika mengamati sandal kuning bulu-bulu yang sedikit kotor. "Itu punya Wintang. Kita punya banyak sendal rumah, kamu pakai satu nggak masalah, Nggi."

Anggi ber-oh ria. Mengangguk dan menunggu Giandra mempersilakannya masuk.

Rumah itu memang besar meski hanya satu lantai. Bersih. Sampai debu saja sungkan untuk menempel pada setiap barangnya.

Anggi berdiri di belakang Giandra yang baru ingin membuka pintu. Tubuh mungilnya tertutup tubuh tinggi tegap Giandra yang sudah seperti atlet renang.

"Mbak??" kaget Giandra ketika tiba-tiba pintu di depannya terbuka lebar. "Mbakyu di sini?"

Tatapan Inggit memicing. "Lha iya, ini Mbakyu."

"Ngapain?"

Kipas tangan itu terbuka dengan sekali hentak. Inggit mencemooh Giandra melalui tatapan. "Sejak kapan rumah Ibu nggak boleh disambangi Mbakyu lagi? Kenapa, nggak mau liat muka Mbakyumu?"

"Enggak, bukan gitu," lirih Giandra mulai kaku.

Sikap kaku tersebut yang membuat Inggit menatap curiga. Ditambah, Inggit melihat ada sepasang sepatu cantik yang bukan kepunyaan Wintang, apalagi dirinya, tertata di samping teras. Sambil mengipas, Inggit berusaha mengintip siapa sosok mungil di balik tubuh tegap adiknya.

Pucuk di cinta ulam pun tiba. Ekspresi sinis Inggit hilang berganti senyum manis ketika sosok mungil tersebut menampakkan diri. Tersenyum dan mengangguk sopan yang langsung membuka lebar mata tua Inggit.

"Ah ... teman Andra," tebak Inggit sumringah membuat Giandra menghela panjang.

Mau tidak mau, Giandra memiringkan badan. "Bajunya basah, Anggi mau pinjem baju Wintang, Mbak."

"Anggi namanya .... Cantik, ya."

"I-iya, kenalkan saya Anggi."

"Mbakyu Inggit, Mbaknya Andra."

Lagi-lagi Giandra menghela tipis. Melihat Inggit menjabat Anggi dengan akrab. Kedua alis Giandra terangkat. Dia memaksakan senyum kepada Anggi yang kikuk di sebelahnya.

"Ayo, masuk. Baju Wintang buanyak yang bisa dipake ganti. Ayo, ayo, anggep rumah sendiri."

***

Sudah kesekian kali Giandra menghela napas dengan kelakuan Inggit. Pertemuan antara Inggit dan Anggi jadi momen aneh yang bisa ditebak Giandra. Sekarang, kakak perempuannya itu tengah mondar-mandir di depan pintu kamar Wintang sambil mengipas. Menunggu Anggi selesai ganti baju meski sesekali mata Inggit melirik Giandra yang duduk di ruang TV.

Heartbreak Anniversary [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang