07.

389 75 4
                                    

Anneke Hanggini
Ya ndra?

Layar itu mati. Giandra menyimpan HP ke saku celana dan kembali mengaduk teh hangat buatan sendiri. Sedikit melirik ke Windhu, lalu Inggit yang tiba-tiba masuk dapur. Sebelah alis Giandra naik. Sambil menyesap teh hangat, Giandra masih mengamati dua kakak perempuannya.

Sesuatu pasti terjadi. Gelagat Windhu terbaca oleh Giandra yang mudah menghapal kebiasaan saudara-saudaranya. Mulai dari gugup, marah, tersinggung, sampai sedih.

"Ada yang perlu dibicarain sama Andra?" pancing Giandra santai.

Windhu gelisah. Melirik Inggit yang pura-pura bodoh, sibuk menghangatkan sayur di kompor dekat cucian piring. Sementara Windhu perlahan memutari meja makan, mendekati Giandra yang sudah bisa menebak sedikit demi sedikit.

"Ee ... Ndra, tumben ngeteh malem-malem," ucap Windhu ditertawakan Giandra dalam hati.

"Mbak Windhu yang mau ngomong sama Andra?"

Windhu makin gelisah. Menoleh belakang ke Inggit yang juga menatapnya, tapi hanya sekilas karena Inggit lebih dulu mengalihkan pandang.

"Itu, Ndra .... Temenmu ... siapa namanya?"

"Yang mana?"

"Yang ... yang tadi."

Giandra diam sejenak, menyesap tehnya lagi sebelum berpikir singkat ketika mengamati genangan teh di dalam gelasnya.

"Namanya Anggi," jawab Giandra masih mengamati teh.

"Oh, Anggi. Cantik ya, Ndra? Mbakyu baru kali ini liat kamu bawa wanita ke rumah. Anu, ee ... Mbakyu Inggit juga seneng kayaknya."

"Kami temen, Mbak. Syukur kalau Mbak Windhu sama Mbak Inggit akrab dengan Anggi."

"Temen?"

Giandra mengangguk. "Memang yang Mbak harap dari kami berdua apa?"

"Kamu ... ee ... nggak niatan—maaf ya, Ndra, ee ... deketin Anggi, gitu?" tanya Windhu gugup.

Bahkan, Windhu mengambil selangkah mundur ketika Giandra menoleh. Setakut itu Windhu berurusan perihal wanita dalam hidup Giandra. Karena sudah lama sekali hal itu tidak diusik. Windhu sampai lupa kapan terakhir kali Giandra membawa pulang teman wanita. Tapi ... ya, mereka yang pernah dibawa Giandra ke rumah memang hanya sebatas teman kerja, tidak lebih.

"Anggi terlalu muda untuk Andra, Mbak."

"Lho, bukannya jarak lima-enam tahun udah umum, Ndra?"

"Itu kan jaman dulu, bukan sekarang."

"Apa bedanya? Yang penting dewasa sikap sama pikirannya, lho."

"Kenapa? Mbakyu udah bosen di rumah yang sekarang?" tanya Giandra santai tapi membuat Windhu menahan napas. "Mbak Windhu ada jatah rumah juga dari Ibu, sama kayak Mbakyu Inggit."

"Apa modal tambak udang Mas Irwan juga habis sama kayak Mbakyu Inggit?" tanya Giandra lagi, masih dengan nada biasa.

"Haiss. Susah bujuk kamu, Ndra!" desis Windhu gemas. Ia maju ke posisi awal. "Bukannya Mbak masalahin uang. Umurmu, Ndra, udah waktunya kamu nikah."

"Maksud Mbak sama Anggi?" perjelas Giandra diangguki Windhu.

Sekilas lirik, Giandra menangkap Inggit tak fokus menghangatkan sayur. Hanya mengaduk-aduknya sambil memasang kuping lebar-lebar. Giandra sudah paham. Dia menghela berat. Teh hangat buatannya tadi, sudah tak enak untuk dinikmati. Mood Giandra anjlok ke titik terendah.

"Sebenernya yang Mbak Windu sama Mbakyu Inggit mau itu Andra nikah atau bagi warisan?" tanya Giandra to the point.

Inggit langsung berbalik, sementara Windhu kembali mundur selangkah.

Heartbreak Anniversary [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang