BAB 17 || GUE NYAMAN, SAMA LO

104 17 8
                                    

"Senang bisa bertemu kembali, Pak Mahendra."

Jabatan tangan dengan sebuah senyum yang teramat khas itu membuat suasana mulai menghangat seiring dengan berjalannya pesta yang tengah di gelar. Ketegasan wajah dengan alis tegak yang saling menukik tajam, mampu membuat aura kebesarannya terpancar tanpa tapi.

Mahendra Bagaskara, ya, pemilik nama itu, seorang pengusaha yang dulunya menghilang entah kemana, sosok besar yang selalu menjadi keagungan tersendiri di dunia bisnis, kembali memunculkan sosoknya dengan aura yang cukup berbeda. Jika dulu pria itu mempunyai tubuh jangkung dengan lebar yang tidak seberapa, lain hal nya dengan sekarang yang sangat berbeda dengan tubuh kekar yang terlihat sangat atletis.

Mahendra membalas balik sebuah sapaan hangat yang dia dapat. Sebut saja namanya adalah Zeano Arkanta Wijaya. Persahabatan yang sudah lama terjalin dengan baik, saling membesarkan perusahaan satu sama lain dengan keharmonisan yang tidak pernah berubah, mampu membuat persahabatan keduanya menjadi bahan perbincangan di banyak khalayak.

"Bagaimana kabar anda selama di Selandia? sepertinya banyak yang  berubah dari pesona anda, ya," nada suara pria itu terdengar seperti memuji. Memang tidak heran. Gaya rambut juga wajah tegas yang terwarnai dengan pahatan yang nyaris dikatakan sempurna di usia yang bisa dikatakan tidak muda lagi, menjadi ciri khas tersendiri bagi orang lain untuk menilai bagaimana sosoknya.

Mahendra terkekeh kecil mendengar ucapan lawan bicaranya. Dia pikir ini terlalu berlebihan. "Kamu bisa saja, ka!" Tepukan dibahunya turut mengiringi ketika ia mengatakan hal itu.

"Saya dengar, kamu sudah mempunyai anak lagi di Selandia. Dimana dia?"

Mahendra tersenyum. Dia tak langsung menanggapi dan berakhir menggelengkan kepalanya seolah merasa berat untuk mengatakannya. "Kamu tahu sendiri kan ka, anak muda zaman sekarang tahunya cuma minum sama minum. Mungkin sekarang dia lagi senang-senang. Pusing juga saya nasehati dia terus tapi ga ada yang diterima satu pun."

"Siapa namanya?"

"Ghata Rendra Bagaskara."

Arka mengangguk paham. Dia tahu betul bagaimana suasana hati seorang ayah ketika dihadapkan dengan sikap keras kepala anak-anaknya. Memang sedikit menguras energi, tapi itu nyatanya menyenangkan. "Anak muda zaman sekarang memang sudah tidak aneh kalau ga mau ngedengerin nasehat orang tua. Lalu kabar anakmu yang pertama? dengar-dengar, dia sudah mengambil alih perusahaan peninggalan tuan Zayn?"

Mahendra tersenyum masam. Dia terlebih dahulu membenarkan kacamatanya sebelum pada akhirnya kembali bersuara. "Kamu bisa melihatnya langsung jika mau tahu keadaan dia bagaimana. Saya sendiri sudah lupa bagaimana dia. Biarlah, saya juga tidak ingin membahas dia kembali."

"Kau sudah lupa dengan anakmu sendiri? waw, sepertinya, ingatan pelupa mu hanya berlaku untuk anak pertamamu, Pak Mahendra." Arka tersenyum lebar. Dia tidak tahu jika ucapannya barusan mampu membuat Mahendra terdiam cukup lama.

'Sepertinya, ingatan pelupamu hanya berlaku untuk anak pertamamu, Pak Mahendra'. Terdengar seperti sebuah tusukan yang cukup menampar, namun nyatanya itu hanyalah luka yang harus tertelan dengan keterpaksaan. Mahendra masih mempunyai akal akan sebuah sakit yang tidak seberapa. Semua orang bilang, tidak ada senjata yang paling tajam daripada tajamnya mulut seorang manusia ketika berbicara. Mahendra menarik napasnya kasar. Dia menatap sekeliling seolah megharapkan keberadaannya yang sudah dia tinggal begitu saja.

Al-Birru (DIROMBAK)Where stories live. Discover now