01. Post-Traumatic Stress Disorder.

98 11 2
                                    

A r c h a v i n z z ;

Post-Traumatic Stress Disorder.

Jaemin | Renjun.
Ananta | Arkana.

WARNING!☡

Baku, Non-Baku, JaemRen, Na Jaemin, Huang Renjun, PTSD, Hyperarousal, friendship, Perawat, Pasien, Gangguan Kejiwaan, Rumah Sakit Jiwa.

- Terinspirasi dari Drama Korea, berjudul ;
It's Okay to Not Be Okay -

Gerakan pelan dengan decitan besi terdengar samar, mengayunkan kedua kakinya sesekali. Bergumam menatap beberapa orang yang lalu lalang dengan baju seragam, menikmati kesendiriannya sesaat.

Kedua retina miliknya menangkap sosok musuh bebuyutan, berjalan mendekat dengan membawa nampan kecil. Tubuhnya ia bawa bangkit, bergerak meninggalkan ayunan yang masih bergerak pelan.

Berjalan terburu-buru, menulikan pendengarannya saat beberapa panggilan mengundangnya untuk diam. Kerutan halus menghiasi dahi Arkana, memikirkan segala tempat bersembunyi dari musuhnya.

"Arka, mau ke mana?" Kedua kakinya diam, matanya memandang lekat pada sang memberi tanya. Mendorong kasar bahunya, lalu berjalan memasuki ruangan.

"Kau lapar?" tanya seseorang yang sempat didorong kasar oleh Arkana, menatap setiap gerakan Arkana yang nampak mencurigakan.

Tangan kanan Arkana bergerak, menyentuh satu persatu alat makan yang tersusun rapi di rak. Tubuhnya berhenti di depan wastafel, mencengkeram pinggirannya kuat, menoleh ke arah Ananta yang selalu bertanya dan mengikuti gerakannya.

"Pergi," desis Arkana, menarik pisau yang berada di rak pengering. Menodong Ananta hingga mundur beberapa langkah, membuat jarak cukup jauh antara mereka berdua.

Suara gebrakan pintu terdengar, kedua pasang mata di dalam ruangan menoleh. Decakan keluar dari belah bibir Ananta, menatap sinis laki-laki yang membawa nampan kecil tersebut.

"K-kalian kenapa?!" tanyanya dengan intonasi tinggi, menatap pisau yang berada di tangan Arkana. Matanya membulat sempurna saat berganti dirinya yang di todong oleh pisau dapur, pada genggaman Arkana.

"J-jangan mendekat." Kaki Arkana bergerak mundur, bersamaan dengan Ananta yang mendekatinya.

"Berikan," ucap Ananta, tangan kanannya terulur meminta benda yang di genggam Arkana.

Sebelah tangan Arkana menekan telinga kiri, berusaha menulikan pendengarannya. Ia menggeleng berulang kali, Ananta terus berjalan mendekat. Mengabaikan permintaan Arkana untuk pergi meninggalkannya, ia mendesak Arkana untuk memberikan benda tajam tersebut.

"Ananta, aku akan pergi mengambil obat bius. Kau berusahalah ambil benda sialan itu," tutur Hanan, lalu pergi membawa nampan yang berisi piring dan mangkok jatah makan Arkana.

"Kenapa tidak dari tadi?!" dengkus Ananta sesaat setelah Hanan lenyap dari depan pintu, merutuki kebodohan Hanan yang sedari tadi hanya menyimak.

"Pergi! Ku bilang pergi!" tungkas Arkana, tetap mempertahankan senjatanya untuk mengarah pada Ananta.

"Ya sudah jika tidak ingin memberikan itu," ucap Ananta disusul oleh hempusan nafas lelah, ia bergerak menjauhi Arkana yang sempat ia desak.

Berjalan membelakangi Arkana, mendekati lemari pendingin untuk mengambil sebotol minuman. Lalu kembali menghadap Arkana yang tak lagi menodongnya, memberikan botol yang sudah ia buka tersebut.

"Minum dulu, pasti haus, kan?" Ananta mendapatkan anggukan singkat. Lalu botol di tangannya, dirampas oleh Arkana. Jujur ia sedari bangun belum meminum seteguk air sama sekali, tenggorokannya lumayan kering terlebih sempat berteriak.

"Mau makan?" tanya Ananta, lagi-lagi hanya anggukan yang ia terima. Tangannya membuka rak piring, mengambil beberapa alat makan. Daripada menunggu Hanan tak tahu kapan tiba, lebih baik ia mengambil sendiri jatah makan Ananta.

Suara decitan pintu bergesekan dengan lantai terdengar, membuat atensi Ananta teralihkan. Baru saja ingin mengambil nasi, ia urungkan niatnya saat melihat perempuan dengan celemek putih menutup bagian depan bajunya.

"Ada apa kemari?" tanyanya, menelisik Ananta dan Arkana yang hanya diam berdiri. Lalu mengerutkan keningnya melihat beberapa alat makan yang Ananta bawa, ini bukan jam istirahat, sepertinya.

"Untuk Arkana," tutur Ananta, seperti cenayang. Ia menjawab yang bahkan belum ditanyakan olehnya, lalu mengangguk singkat sebagai balasan. Meminta alat makan yang Ananta ambil, mengambil alihnya untuk diisi segala macam lauk pauk.

"Kata Arkana dia lapar, padahal sudah memakan jatahnya tadi," ucap Ananta membuat Arkana yang sedari tadi diam menoleh, menatap tak suka Ananta yang berbohong.

"Tidak apa-apa, aku selalu membuat lebih." Senyum teduh mengembang, kedua matanya menyipit. Memberikan nampan berisi piring dan mangkok kepada Arkana, ia terkekeh pelan saat mata Arkana menatap satu mangkok berisi sayur.

"Aku mau tambahkan sayurnya, bisa?" tanya Arkana, menunjuk mangkok dengan dagu runcingnya.

"Sayur saja?" Lagi-lagi anggukan singkat Arkana berikan, ia malas mengulang kembali semua perkataannya.

Setelah mendapatkan apa yang ia mau, Arkana berbalik membawa nampan tersebut tanpa memperdulikan Ananta.

"Hey! Pisaunya kau ke mana, kan?!" Mata Ananta membelalak kala sadar pisau dapur yang sempat membuat gaduh itu tidak ada, mengejar Arkana yang berjalan cepat menjauh dari Ananta.

Langkah besarnya menyusuri lorong Rumah Sakit, dadanya sesak bukan main saat tak menemukan batang hidung Arkana yang pergi membawa pisau.

Tubuhnya hampir terhuyung ke depan saat tak sengaja menendang kaki lainnya, jika tak ada yang menarik kerah belakangnya sudah pasti wajah Ananta tergores lantai dingin.

"Aku yang urus Arkana, kau dipanggil Direktur sekarang juga," titah Hanan yang entah ke mana saja tadi, kini ia tak membawa nampan jatah makan Arkana lagi. Sesaat setelahnya, berlari meninggalkan Ananta untuk mengejar Arkana.

Tak pikir panjang, Ananta membawa kakinya ke lantai atas tempat ruangan Direktur. Menaiki tangga genap agar cepat sampai, kakinya tak sependek itu hingga kesulitan melewati satu anak tangga.

Hingga sampailah ia pada lantai dua, ruangan di lantai ini lumayan banyak. Selain ruang Direktur, di sini juga lantai tempat tidur Pasien yang masih sanggup naik dan turun tangga dan ruang ganti para Perawat.

Mata Ananta menangkap satu ruangan yang berbeda dari lainnya, pintu yang terbuat dari kayu tua dengan hiasan buah penuh air, dan kenop yang terdapat bandul berbentuk setengah lingkaran.

Mengetuk perlahan pintu kayu tersebut, lalu mendorong kenop pintu saat diberi persetujuan untuk memasuki ruangan.

Tubuh Ananta berdiri tegak di samping rak dengan berbagai macam aksesoris buah semangka, menatap sekeliling ruangan yang membuat dirinya tergelak saat teringat ini adalah ruangan milik Direktur-nya.

Aneh saja, Direktur yang terkenal di seluruh penjuru Negeri mengoleksi barang-barang lucu seperti anak kecil. Ah, Ananta baru teringat jika ia berkerja sebagai Perawat di Rumah Sakit Jiwa, pantas saja jika semua penghuni sedikit kurang akal.

"Duduk Ananta," titah pria dengan usia yang diperkirakan jauh lebih tua dari Ananta, menuntutnya agar duduk di salah satu sofa bergambar semangka yang kosong. Direktur-nya benar-benar penggemar sejati.

"Kenalkan, dia Ananta. Perawat baru di sini yang akan mengurus Juna."

●○

Eaaa, aku balik dengan cerita ini. Ku rombak ulang karena beberapa alasan, yang sudah pernah baca ... jangan sangkut pautkan dengan masa lalu.

Biarkan yang sudah berlalu, mari kita buka lembar baru.

See you ^^

Post-Traumatic Stress Disorder.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang