03. Post-Traumatic Stress Disorder.

34 2 0
                                    

Ananta tahu betul bahwa Junara tak menyukainya, dari sorot mata yang seakan jengah saat Ananta berusaha akrab dengan paksaan. Sebenarnya, bukan paksaan, Ananta jelas dengan sepenuh hati melakukan hal tersebut.

Namun, tampaknya Junara masih belum bisa menerimanya. Lagi pula Ananta hanya orang baru, yang kebanyakan dijauhi karena dilarang berbicara pada orang asing.

Bukannya mempersulit Candra yang berniat merawat Junara, tetapi Ananta juga tak begitu yakin dengan potensi Candra yang akan tetap mengedepankan Junara. Tapi tampaknya, Candra sangat menggebu-gebu.

Lalu, keputusan itu juga bukan haknya untuk memutuskan. Ini hanya memiliki sangkut paut dengan Direktur saja, entah kenapa Ananta ikut andil dalam meminta pendapat.

Jelas saja Ananta menolak, walau terkadang ia sendiri yakin jika Candra mampu. Ananta hanya ingin melihat kesungguhan Candra, tepatnya pada keadaan Junara.

"Kenapa melamun?" Tubuhnya tersetak kecil, menoleh cepat ke sampingnya karena terkejut.

Ananta diam menatap sosok yang membuat lamunannya buyar, menimang jawaban yang tepat atas pertanyaan tersebut.

"Kenapa?" Masih dalam bimbang, Ananta memiringkan kepalanya sedikit. Bersamaan dengan itu, kerutan di keningnya terlihat samar.

"Tidak ingin bercerita?" Pertanyaan tersebut membuat Ananta kembali menegakkan tubuhnya, bersikap seperti semula sebelum dirinya dipergoki.

"Aku sedang lelah saja," ucap Ananta seraya menyandarkan tubuhnya pada punggung kasur. Ia pijat pelan dahinya yang sangat kaku.

"Jangan begadang kalau begitu, tidur saja," titah Abi sembari menarik kepala Ananta ke arah bahunya, ia tekan pelan kepala Ananta agar melepaskan lelahnya.

Ananta hanya mengangguk pelan, ia raih pinggang Abi dan memeluknya dari samping. Disusul oleh Abi yang menepuk berulang kali punggung Ananta, memerintahkan pemuda itu agar beristirahat.

"Baik sekali temanku ini!"

"Hanya teman?" tanya Abi berbisik, ia usap pelan punggung Ananta dengan lemah. Sedikit tidak rela mendengar penuturan Ananta, seakan telah menjadi hal mutlak tentang apa yang telah keluar dari bilah bibir Ananta.

"Aku lebih tua darimu satu bulan, bagaimana jika kau menjadi Adikku?" Ananta semakin menenggelamkan wajahnya pada bahu Abi, melepaskan letihnya dengan pelukan yang semakin erat.

"Benar juga, kita ini saudara," ucap Abi disusul tawa kakunya.

.
.
.
.
.

"Anta, kau benar ingin libur?" Ketukan lumayan kencang terdengar, Ananta yang sedang bergulung di dalam selimut mengerang pelan.

"Anta! Mama ingin pergi sebentar lagi, jangan buat Mama menunggumu!" Teriakan itu diselingi oleh ketukan yang semakin kencang, seakan ingin mendobrak pintu pembatas antara mereka.

Ananta hanya menyikap kasar selimut yang melilit kepalanya, ia dudukan tubuhnya pada sisi ranjang seraya mengusap pelan sudut mata.

"Terserah kau saja! Mama pergi!" pekik Mama di balik pintu, Ananta tak menjawab. Ia hanya menggaruk kepalanya yang tak gatal, memandang lelah pintu kamarnya yang menjadi korban gedoran sang Mama.

Perlahan dirinya bangkit menuju lemari, membuka pintunya seraya berkacak pinggang di depannya. Ananta kembali mengangkat tangannya, meletakkannya pada tengkuk lehernya dan ia pijat pelan karena tegang.

"Abi, apa kau sudah bangun?" tanya Ananta sembari menarik satu kain dari dalam lemari, ia putar tubuhnya kembali menghadap kasur.

Namun, Ananta diam mematung, menatap lekat ranjang miliknya yang kosong dan hanya diisi oleh selimut dan bantal yang berantakan.

Tak ada Abi yang ia harap berada di sana, tak mungkin juga jika ia tengah malam menyelinap keluar untuk pulang. Tidak seperti biasanya juga, Abi akan selalu memberitahunya kemana dia akan pergi, seberapa lama ia akan kembali.

"Tidak biasanya, apa dia sedang ada masalah?" gumam Ananta sembari berjalan menuju meja di dekat jendela, ia raih benda pipih di atasnya pelan.

Dirinya jatuhkan kain yang sempat ia ambil dari lemari ke lantai, beralih memusatkan perhatiannya pada ponsel. Beberapa kali Ananta mengeryit heran, kembali mengetik cepat dan menampilkan raut muka bingungnya lagi.

"Kenapa hanya ceklits satu?" gumam Ananta sembari menghempaskan tubuhnya kembali pada kasur, ia dekatkan ponsel ke arah telinganya dengan sorot mata penuh harap.

Namun, benar-benar tak ada jawaban. Sama seperti beberapa pesan yang terkirim cepat, telfon yang ia tujukan pada Abi tak diterimanya.

"Mama!" pekik Ananta tiba-tiba, ia bangkit terburu-buru dan berlari keluar kamar. Menuruni anak tangga secepat mungkin ke lantai bawah, dengan harapan sang Mama belum benar-benar pergi.

"Mama!" teriaknya lagi, ia menoleh sekilas ke dalam dapur yang nyatanya tak ada seorangpun.

Lalu, suara besi yang terdengar nyaring membuat Ananta kembali berlari keluar rumah. Dengan terburu-buru, jari kakinya bahkan sempat tersandung benda.

"Mama! Apa Mama tadi melihat Abi pulang?" tanya Anata cepat, ia hirup rakus udara saat dirinya sampai di garasi dan melihat sang Mama baru saja ingin membuka pintu garasi.

"Abi?"

"Ya, tadi Abi pergi sebelum kau bangun. Katanya, dia sedang ada urusan," ujar Mama sembari berkacak pinggang menghadap Ananta. Ia memicingkan pandangannya, menatap Ananta yang merubah raut wajah miliknya tiba-tiba.

"Kenapa tidak bangunkan aku?" tanya Ananta, keningnya terlihat mengkerut berbarengan melangkah maju memasuki garasi. Mama kembali memusatkan perhatian pada pintu garasi, ia kembali sibuk membuka pintu tersebut tanpa bantuan Ananta.

"Kau itu bebal," desis Mama tak mengenakan, ia lirik tajam Ananta yang berdiri di belakangnya  dengan kedua tangan di pinggang. Ia gertakkan giginya hingga bergelematuk, menandakan ketidaksukaan atas pertanyaan Ananta.

"Mama hanya mengancamku, seharusnya Mama bilang dengan jelas. Lagi pula, aku tidak pernah mengunci pintu kamar," tutur Ananta menentang tegas Mama. Ia layangkan tatapan tajam pada Mama kembali, tanpa ragu dirinya langkahkan kaki semakin mendekat Mama.

"Jadi ini salah Mama?" tanya Mama dengan nada tenang, ia hadapkan tubuhnya pada Ananta sembari memiringkan kepalanya.

"Ya!" seru Ananta dengan senyum lebarnya, kedua mata yang melebar saat mendengar penuturan sang Mama yang ia rasa benar.

.
.
.
.
.

Bantu aku menyelesaikan ini, okey? Kita jalan bersama~

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Feb 23 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Post-Traumatic Stress Disorder.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang