Ia membuka pintu dengan pelan, masuk kedalam sambil menundukkan kepalanya dan langkahan pelan membuat atensi 3 orang yang duduk di sofa menatap ke arahnya dengan intimidasi.
"Seneng?. Seneng lo ketemauan sama Gibran?." Marcella berdiri sambil menunjuk-nunjuk kearah Marella
Ayah pun mendekat ke arah Marella. "Udah berani kamu sama ayah, apa semenjak kamu ketemu sama Gibran?."
"Marella. Kamu tau kan adik kamu suka sama Gibran? Apa kamu ga mau ngalah sama adik kamu?." Ibu mendekat ke arah Marella juga, penuh dengan tamparan seakan-akan semua yang Marella berikan tidak pernah terlihat di mata mereka, contohnya kebahagiaan.
Saat ini Marella memberanikan diri menatap ayah dan ibunya, dan Marcella juga tentunya. "Aku ga sedikitpun suka sama Gibran. Gibran sama temen-temennya cuma ngembaliin buku diary aku yang ketinggalan." Suaranya sedikit bergetar.
"Ngejawab aja kamu. Ikut ayah kamu sekarang juga. Ke gudang!" Ayah menarik tangannya kasar Marella benar-benar tidak bisa memendam rasa tangisnya.
Setelah sampai didepan pintu gudang langkahan Marella terhenti karena tubuhnya benar-benar sudah remuk, Marella lelah dengan ini semua. Tapi tiba-tiba ayah menarik tangannya kasar membuat Marella tersungkur ke lantai.
Bugh
Bugh
Bugh
Bugh
Bugh
Bukan dengan gesper lagi, sekarang ini ayah memukul Marella dengan sapu. Ayahnya benar-benar kasar.
"Udah ayah bilang, jangan deketin Gibran. Tapi kamu malah main-main sama ucapan ayah." Ayah menghentikan pukulannya dan mengambil handphonenya milih Marella di tas kecilnya.
"Ja-ja-jangan ayah..," Marella berusaha meraih kembali handphone dari ayahnya
"Ah diem kamu." Ayah menepis kasar tangan Marella
Tiba-tiba ayah berdiri. "Kalo sampe kamu nemuin Gibran lagi, ayah ga akan segan-segan bunuh kamu." Ayah pun melangkah pergi dan menutup pintu dengan keras.
"Hufttt.." Hembusan nafas kasar ini membuat rasa sakitnya lebih terasa, dia tak bisa membendung air matanya, memang berbeda rasanya, antara gesper dan juga sapu
"Ke-kenapa ak-aku ga, mati aja.. aku capek banget kalo ha-harus kaya gini terus, aku juga pengen bahagia bareng-bareng sama keluarga aku." Marella menjatuhkan tubuhnya ke lantai, badannya benar-benar remuk, dia tidak akan bisa menopang tubuh kurus yang penuh dengan luka.
"Apa, ak-aku bunuh diri aja." Tanyanya pada diri sendiri.
Menangis boleh, menyerah jangan. Sudah ada di titik paling ujung, bingung antara ingin mati atau hidup penuh dengan siksaan.
"Hilang rasa, aku benci diriku! Mau sampe kapan aku kaya gini terus." Mengeluh dengan diri sendiri itu sudah pasti, Marella kuat tapi dia juga waktu mulai lelah hidup seperti ini.
Jika membahas apa itu Rumah Terbaik dan jawaban yang tepat adalah diri sendiri bukan keluarga, pada dasarnya yang tau apa yang kita rasakan sekarang adalah diri kita sendiri.
Membenci diri sendiri adalah bagian yang paling Marella benci, dimana dia harus merasakan sakitnya cobaan dari Tuhan.
Marella mencoba bangkit. Memang hanya ada luka menang di tubuhnya, biasanya ayah menyiksa Marella sampai Marella mimisan, tapi kali ini, tubuhnya terasa kram, lebam ada dimana-mana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Marella Ingin Bahagia
Novela Juvenil"Satu ginjal ini ga seberapa, dibandingkan rasa cinta seorang kakak untuk adik tersayangnya."