Lima

444 24 0
                                    

Alunan musik jazz terdengar samar-samar di dalam kafe bernuansa klasik tersebut. Lantai kayu berwarna mengkilat memberi kesan hangat dan nyaman pada para pengunjung kafe. Di sudut terdapat seorang penyanyi wanita berambut sehitam langit malam, menyanyikan lagu jazz dengan penuh pengkhayatan.

Seharusnya Jeonghan ikut bersenandung menikmati suasana tenang siang itu. Seharusnya kepalanya ikut bergoyang ke kanan dan kiri, jemarinya mengetuk permukaan meja menikmati alunan musik yang terdengar, atau memesan banyak sekali makanan yang ada di dalam buku menu karena perutnya terasa sangat lapar.

Tapi nyatanya, duduk di hadapan seseorang yang mengambil bagian terbesar dalam kehancuran hidupnya bertahun-tahun lalu bukan perkara mudah. Jeonghan membuang pandangannya ke arah manapun. Ke manapun, asalkan ia tidak perlu menatap ke dalam bola mata kecokelatan milik Lee Minhyuk.

Secangkir latte pesanan Jeonghan yang dibawakan oleh pelayan sejak lima belas menit lalu terabaikan begitu saja, begitu pula dengan secangkir americano yang Minhyuk pesan untuknya sendiri.

Dalam hati keduanya saling menghitung, Jeonghan mencapai hitungan ke tujuh puluh empat sementara Minhyuk masih berada di angka lima puluh. Tampak tidak ada di antara keduanya yang akan mencairkan ketegangan lebih dulu meskipun Minhyuk yang mengajak Jeonghan---setengah memaksa wanita itu untuk bicara di kafe terdekat setelah keduanya kembali bertemu.

Helaan napas terdengar lolos dari bibir Minhyuk yang terkatup rapat membuat kelopak mata Jeonghan berkedip cepat. Ia miringkan sedikit kepalanya ke arah Minhyuk yang kini jelas-jelas menatap ke arahnya, mengebor ke dalam bola matanya yang berwarna cokelat madu.

"Jeonghan..."  Mendengar namanya disebut oleh Minhyuk lagi setelah sekian lama kini membawa perasaan asing ke dalam dirinya. Jeonghan hanya menganggukkan kepalanya satu kali, sebagai tanda bahwa ia mendengar dan meminta Minhyuk untuk melanjutkan apapun yang pria itu ingin katakan.

"Bagaimana kabarmu?"

"Baik..."

Lagi, terdengar helaan napas dari pihak Minhyuk. Apa yang salah?! Jeonghan sudah menjawab pertanyaan yang diajukan oleh pria itu. Keadaannya memang baik. Bahkan belum pernah sebaik saat ini. Jeonghan merasa sehat dan ia tidak perlu berbohong tentang keadaannya saat ini.

"Senang mendengarnya..."  Minhyuk memaksakan diri untuk tersenyum. Tatapannya masih tidak lepas dari Jeonghan yang kembali memilih untuk mengabaikan dan bersikap seolah dinding berwarna salem di sekitar mereka jauh lebih menarik untuk diperhatikan.

"Bagaimana dengan pekerjaanmu?"

Kali ini Jeonghan bergerak gelisah di kursinya. "Bagaimana dengan pekerjaanku?!"

"Maksudku, bagaimana pekerjaanmu? Apa kau sudah mendapatkan seragam yang baru sejak terakhir kali kita bertemu?"

Jeonghan tertawa pelan. Tawa yang terdengar miris sekaligus menyepelekan di kedua telinga Minhyuk. Wanita itu menganggukkan kepala, sementara ia meraih cangkir latte dan jemarinya mulai bermain di tepian gelas.

"Aku sudah bertugas di maskapai yang baru."

Kerutan tampak jelas di kening Minhyuk.

"Kau dipindahtugaskan?"  Tanya pria itu cepat, membuat Jeonghan kembali menggelengkan kepala.

"Aku mengajukan surat lamaran yang baru di maskapai lainnya..."

Hening. Kembali ada jeda di antara keduanya selama beberapa detik sebelum Minhyuk melanjutkan apa yang mungkin sejak tadi ingin ia utarakan namun tertahan di lidah.

"Aku... aku minta maaf."

"Untuk?"  Satu alis Jeonghan terangkat sementara bibirnya nelengkungkan senyuman sinis. Maaf?! Setelah sekian lama menghilang, setelah dengan susah payah Jeonghan menata kembali hidupnya yang hancur, Minhyuk meminta maaf begitu saja?!

"Untuk segalanya. Untuk pergi begitu saja, untuk kesakitan yang mungkin aku timbulkan..."

Jeonghan kini tertawa. Tawa yang terdengar meremehkan, sinis, namun juga perih secara bersamaan. Wanita itu menggoyangkan kepalanya pelan, seolah berusaha sekuat tenaga untuk menghilangkan kenangan buruk yang diciptakan oleh Minhyuk bertahun-tahun yang lalu.

"Bad things happened... Aku tahu..." Tangannya mengangkat cangkir latte ke bibirnya yang terbuka, meneguk latte miliknya dalam berapa kali tegukan. Jeonghan mendesah nikmat dan menyeka sudut bibirnya dengan punggung tangan. Ajaib. Latte seolah memberinya kekuatan dan keberanian untuk membalas tatapan Minhyuk, melihat ke dalam mata cokelat pria itu. Wanita itu kini menatap Minhyuk dan dia tahu dia tidak ingin berpaling kembali. Paling tidak, sampai segala urusan mereka selesai.

"Aku memaafkanmu, Minhyuk. Yah, aku memang sempat membencimu. Tapi membenci dan terus mengingat tentang alasanku membencimu hanya membuatku sakit hati dan membuat hidupku tidak tenang."

Minhyuk menahan napas...

"Tapi, setidaknya, ada satu hal yang selama ini menggangguku. Mengganggu pola makanku, mengganggu jam tidurku. Bahkan, mengganggu pekerjaanku..."  Jeonghan mengulang kembali apa yang ia lakukan sebelumnya, meneguk latte dari dalam cangkir sebelum ia melanjutkan kalimatnya.

"Sebenarnya apa yang terjadi setelah aku memberitahu tentang kabar itu? Kemana kau setelah itu, Minhyuk?"

Apa yang terjadi setelahnya, Jeonghan pun tidak mengetahuinya. Dan mungkin tidak akan pernah mengetahuinya. Karena ponsel pintarnya yang ia letakkan di sebelah cangkir latte berbunyi dengan cukup keras dan nama Seungcheol muncul di layar. Tatapan mencibir dari pengunjung kafe yang lain pun dilayangkan pada Jeonghan.

Tatapan Minhyuk jatuh pada nama Choi Seungcheol di layar ponsel Jeonghan. Hidungnya mengembang dan mengempis dengan cepat dan napasnya terdengar memburu. Minhyuk seolah berusaha sekuat tenaga untuk menahan amarahnya sendiri, meskipun Jeonghan tidak yakin apa alasannya.

Dengan wajah meminta maaf Jeonghan mengangkat ponselnya, mengucapkan selamat siang dengan cukup riang seolah tidak ada yang terjadi padanya beberapa menit yang lalu.

"Baik, baik... aku mengerti..."  Tawanya mengalun merdu. "Kalau begitu aku akan langsung ke sana setelah ini. Sampai jumpa..."

"Kekasihmu?"  Tanya Minhyuk bahkan ketika Jeonghan belum benar-benar meletakkan kembali ponselnya ke atas meja kafe. Wanita itu hanya tersenyum, dengan sengaja menghindar dari kewajiban untuk menjawab pertanyaan pria di hadapannya.

"Aku harus pergi. Seseorang menungguku..."  Dan tanpa memberi kesempatan pada Minhyuk untuk membalas kalimatnya, Jeonghan beranjak dari kursi kafe yang ia duduki kemudian berlalu keluar dari dalam Cookies Eatery Cafe.

PINWHEEL • JEONGCHEOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang