Dua

805 28 1
                                    

Sugar Damn Cafe...

Nama yang cukup aneh untuk sebuah kafe namun sangat populer baik di kalangan remaja maupun dewasa yang gemar menghabiskan waktu mereka demi secangkir cokelat panas di musim dingin atau sekadar memesan satu hingga dua cangkir latte sambil bersenda gurau bersama rekan demi menghilangkan penat di akhir pekan.

Sugar Damn Cafe terletak di pusat kota, tepatnya di Crescent Street, sebuah jalan yang terkenal dengan butik-butik serta tempat makan dari harga menengah hingga berharga fantastis.

Choi Seungcheol memarkirkan sedan berwarna senada dengan seragamnya hari itu secara paralel di depan Sugar Damn Cafe, bersisian dengan SUV berwarna putih.

Pelayan yang berjaga di depan pintu masuk kafe adalah seorang laki-laki berusia tepat dua puluh tahun bernama Seokmin, berkulit sedikit kecokelatan dengan rambut yang menurut Jeonghan sudah sepantasnya dipangkas sesegera mungkin.

"Selamat pagi... rambutmu semakin panjang..."  Bahkan sebelum Seokmin mengucapkan kalimat selamat datang, Jeonghan sudah lebih dulu mengatakan kalimat yang selalu ia katakan saat berkunjung ke kafe tersebut.

"Aku tidak akan memangkasnya,"  celetuk Seokmin dengan kesal. Kepalanya menoleh tepat ke arah Seungcheol yang berada di sebelah Jeonghan membuat senyuman simpul terbit di bibir laki-laki itu. "Bagaimana kabar Anda, Pak Kepala?"

Seungcheol berdecak kesal.

"Memanggilku dengan sebutan itu sekali lagi, maka akan kupastikan agar Jeonghan memangkas rambutmu, Seokmin..."  Tak pelak Seokmin pun tergelak.

Meja nomor tujuh sepertinya disediakan khusus untuk Jeonghan dan juga Seungcheol. Kapanpun keduanya berkunjung ke Sugar Damn, meja nomor tujuh yang akan selalu mereka pesan. Selain karena angka tujuh adalah angka favorit Jeonghan---menurut wanita itu, juga karena pemandangan yang luar biasa bisa ia lihat dengan sangat jelas dari meja nomor tujuh. Dan beruntung Jeonghan selalu mendapatkan meja favoritnya itu.

"Pesanan yang biasa?"  Tanya Seokmin sambil mengulurkan buku menu kepada keduanya.

Jeonghan mengangguk dengan senyuman simpul, sekaligus menolak saat Seungcheol menyodorkan buku menu tersebut padanya.

"Baiklah... ditunggu pesanan kalian lima belas menit lagi, ya..."  Seokmin berlalu setelahnya.

Aroma di dalam Sugar Damn Cafe selalu menyenangkan. Perpaduan antara wangi kayumanis dan juga karamel. Namun pagi itu, aroma yang tercium lebih dominan aroma kopi. Aroma yang sangat menenangkan.

Lantai berlapis kayu mengkilat, dinding yang diberi warna merah gelap serta cokelat, dan lampu gantung berwarna sedikit temaram, serta di beberapa sudut diletakkan pot-pot tanaman... pemandangan yang selalu berhasil membuat Jeonghan mengulum senyuman.

"Bagaimana Jepang?"  Pertanyaan yang keluar dari mulut Seungcheol membuat Jeonghan yang tengah mengamati sekelilingnya sedikit tersentak. Tidak biasanya Seungcheol membuka percakapan lebih dulu.

Sejak mengenal pria itu dan akhirnya memutuskan untuk menerima cintanya, Seungcheol tidak akan pernah memulai obrolan lebih dulu. Pria itu akan selalu bersikap apatis di hadapan Jeonghan dan menjawab setiap pertanyaan yang Jeonghan ajukan hanya dengan gumaman singkat. Seungcheol lebih senang menunjukkan perasaannya melalui tindakan.

"Aku tidak akan pernah cocok dengan makanan di Jepang..."

"Kenapa?"  Kerutan terbit di kening mulus Seungcheol. Kedua matanya melirik sekilas telapak tangannya yang kini diraih oleh Jeonghan hingga mereka saling menggenggam tangan di atas meja.

"Aku benci katsu atau sake..."

Keduanya lantas tertawa.

Dua setengah tahun lalu tepat di Sugar Damn Cafe, Jeonghan dan Seungcheol bertemu untuk pertama kali. Jeonghan bahkan masih ingat dengan jelas pertemuan pertama mereka.

Sepulang bertugas dari Australia, Jeonghan yang mengalami jetlag memutuskan untuk pergi membeli secangkir latte dan juga beberapa cemilan manis yang ada di kafe favoritnya.

Siang itu dia memutuskan untuk bersepeda menuju Sugar Damn, memesan secangkir latte pada barista bernama Kwon Soonyoung dan juga dua potong pastry dengan topping krim dan potongan buah stroberi di atasnya. "Maniak stroberi," begitu Soonyoung menyebutnya.

Saat itu Jeonghan memilih meja nomor lima, karena meja nomor tujuh sudah ditempati lebih dulu oleh tiga pria dengan kemeja putih polos yang terlihat membalut tubuh mereka dengan sempurna.

Musik yang diputar membuatnya tidak bisa menahan diri untuk tidak ikut bersenandung pelan sambil menggoyangkan kepala. Siapa sangka, apa yang ia lakukan rupanya mengundang minat salah satu dari tiga pria yang berada di meja nomor tujuh untuk datang dan menarik kursi di sebelahnya.

"Boleh aku duduk disini?!"  Ucap Choi Seungcheol saat itu. Pria gentle sekaligus perayu ulung di mata Jeonghan saat mereka pertama kali bertemu, dan Jeonghan hanya mampu menganggukkan kepala sebagai jawaban karena dia terlalu terkejut untuk bersuara.

"Kau melamun..."

Kedua kelopak mata Jeonghan berkedip cepat. Seungcheol dengan kening yang masih berkerut menatapnya, seolah kekasihnya itu baru saja mengalami trans.

"Maaf..."

Seungcheol menggeleng pelan. "Kau sakit? Karena kentang tumbuk atau katsu atau sake?"  Mau tak mau pertanyaan yang Seungcheol ajukan membuat Jeonghan tertawa.

Segala hal yang ada pada pria itu membuat Jeonghan tidak bisa menahan senyuman. Jeonghan mencintai Seungcheol seperti ia mencintai buku-buku sastra miliknya yang masih tersusun rapih di rak buku di rumah orangtuanya. Jeonghan mencintai Seungcheol seperti ia mencintai makanan manis. Jeonghan mencintai Seungcheol seperti ia mencintai kudapan stroberi dan tidak akan pernah membaginya dengan siapapun. Kadang, menurut Jeonghan, perasaan seseorang memang sesederhana itu. Tidak perlu rumit, tidak perlu berjalan terlalu berliku seperti yang ia alami lebih dari tiga tahun lalu, tepat saat ia belum bertemu dengan Choi Seungcheol.

PINWHEEL • JEONGCHEOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang