Tujuh

470 21 0
                                    

Jeonghan masih mampu mengingatnya dengan jelas, kali pertama mereka berjumpa. Aroma manis dan maskulin yang menguar dari tubuh Seungcheol saat ini masih sama dengan saat mereka pertama kali bertemu. Dan Jeonghan candu akan hal itu.

Pria itu kini berada diatas sofa melingkar yang sama dengan yang ia duduki, memeluknya dengan erat sambil melayangkan berbagai kalimat penghiburan yang sialnya tidak mampu menyingkirkan segala kegundahan serta emosi Jeonghan.

Ia sudah menceritakan semuanya pada Seungcheol. Tentang Minhyuk yang memilih untuk pergi dan menghilang setelah ia memberitahukan kabar kehamilannya, tentang rekan-rekannya yang seolah menutup-nutupi kemana Minhyuk pergi, tentang keputusannya untuk mengurus kandungannya sendiri dan tentang kecerobohannya mengonsumsi alkohol dalam jumlah banyak ketika ia bertugas ke luar negeri hingga mengakibatkan ia kehilangan janin dalam kandungannya. Sekarang, semua tergantung pada Seungcheol. Pria itu berhak untuk marah karena selama ini Jeonghan selalu menutupi-nutupi cerita tersebut darinya.

Tapi, jika memang Seungcheol marah, pria itu tidak menunjukkannya. Sebaliknya, yang Seungcheol lakukan adalah mengecup puncak kepala wanita itu. Berulang kali. Seungcheol bahkan tampak enggan melepaskan pelukannya ketika Jeonghan mencoba untuk menyingkir dari jangkauan lengan serta tubuh bidang pria itu.

Mereka duduk berpelukan untuk waktu yang lama. Setelah merasa Jeonghan sudah jauh lebih tenang, Seungcheol baru melepaskan pelukannya dan mengangkat wajah Jeonghan. Jari telunjuknya menyapu jejak airmata yang ada di pipi sang wanita.

"Hmm... Setidaknya aku tidak dibuat bertanya-tanya seperti sebelumnya. Mengetahui ini semua benar-benar hal yang sangat penting."

"Maaf... Tapi... Seberapa penting itu semua untuk diketahui?"  Tanya Jeonghan masih dengan suara serak.

"Teramat sangat penting. Karena..."  Lagi, Seungcheol menjauhkan diri dari tubuh Jeonghan membuat wanita itu bertanya-tanya dalam hati.

Satu tangannya menyusup ke balik rompi berwarna biru gelap yang ia kenakan. Seolah dalam mimpi, seolah hanya sekadar khayalan, Seungcheol mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna putih transparan. Jeonghan bisa melihat dengan jelas benda kecil berwarna putih yang sedikit berpendar di dalam kotak tersebut.

"Apa itu?"

Seungcheol tertawa pelan. "Ini cincin..."  Dia membuka kotak tersebut lalu mengeluarkan cincin berlian berukuran sedang dari dalam kotaknya. Jeonghan tidak bisa mengalihkan pandangan dari cincin tersebut sedikit pun.

"Kita menikah, ya?!"  Tanpa prolog, tanpa epilog. Hanya kalimat sederhana dan bahkan, cara Seungcheol menanyakan kalimat tersebut terdengar seperti sebuah paksaan dan itu diucapkan dengan nada datar.

Ada banyak sekali pertanyaan di dalam kepala Jeonghan saat ini. Dan karena terlalu banyak, ia bahkan bingung memilih mana yang harus ia tanyakan lebih dulu. Lalu, seolah sudah direncanakan, kepalanya mengangguk sebelum ia sadar apa yang ia lakukan. Dari kelopak matanya yang menyipit karena senyuman lebar, ia bisa melihat Seungcheol menghembuskan napas lega. Tawa keduanya meledak seketika.

Mereka kembali berpelukan. Untuk pertama kalinya, Jeonghan merasa perasaan bahagia yang membuncah hebat di malam natal.

Untuk pertama kalinya, ia merasa menyukai malam natal.













END

PINWHEEL • JEONGCHEOLTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang