Ketika bukti-bukti yang ditemukan semakin memperkuat dugaan Tabib Kwon membunuh putra mahkota, aku justru kehilangan jejak Tabib Kwon. Meskipun akhir-akhir ini aku rutin mengintainya, aku sadar, cepat atau lambat pria itu akan menyadari bahwa persembunyiannya tak lagi aman. Apalagi, setelah orang-orang yang diduga sebagai sekutunya ditangkap dengan alasan pemberontakan. Namun, dengan bodohnya, aku lalai menempatkan prajurit yang handal.
Rasa menyesal mengantarku untuk kembali mengunjungi rumah milik permaisuri di dekat Hanyang. Tak ada orang yang tepat untuk mengampuni keteledoranku selain keluarga mendiang putra mahkota.
"Maafkan aku, Putri Min. Kami kehilangan jejak Tabib Kwon."
"Jadi benar, pria itu yang tega membunuh suamiku," respon Putri Min terdengar dingin. Untuk wanita yang suaminya diduga dibunuh, ia tampak tenang. Tanpa teriakan histeris pun, sorot matanya bicara banyak.
"Aku dan permaisuri tidak bermaksud berjanji berlebihan, tapi kami akan mengupayakan Anda dan Wangseson* bisa segera kembali ke istana."
"Kami tenang berada di sini, Seja Joeha."
"Ya, aku bisa melihatnya, tapi semua harus kembali ke tempat seharusnya pada akhirnya. Baibu* yang menyudutkan Anda perlu dibuktikan keamanannya. Entah secara saintifik atau mungkin dengan pendekatan mistik," jelasku tak ingin memupuskan harapannya.
Kini, wanita itu tersenyum sinis. "Tanpa penelitian pun, apa masuk akal sebenarnya saya membunuh suami saya sendiri? Dari segi politik pun itu semakin melemahkan saya dan putra saya."
Aku mengerjap. Benar, tapi itu strategi yang sudah dipilih permaisuri untuk melindungi putri mahkota. Aku sendiri bergidik ngeri membayangkan seberapa berani ibuku mengambil keputusan saat itu. Sepertinya, putra mahkota juga tak pernah setuju.
"Namun, seperti yang Anda katakan. Untuk sekarang, rumah ini adalah tempat terbaik untuk kalian. Ibu suri dan sekutunya tidak ada yang bisa semua yang ada di sini."
"..."
"Aku akan memastikan mereka tidak pernah bisa menyentuh Anda dan Wangseson," ucapku sungguh-sungguh, "aku akan mengambil risiko apapun untuk melindungi kalian semua."
"Seja Joeha ...."
"Aku mohon untuk lebih bersabar selagi kami mencari Tabib Kwon."
Putri Min tak menjawab kalimat terakhirku. Wanita itu berjalan menjauh sehingga aku bisa mengamati dari belakang. Berada di istana membuatku terbiasa dengan berbagai keindahan yang menghiasi setiap bagian keluarga kerajaan. Pakaiannya sangat sederhana untuk seorang bangsawan yang pernah di istana dan mataku terhenti pada sanggulnya yang tampak sepi.
"Maaf, aku lihat hiasan rambut Anda sudah usang, Putri Min," ucapku spontan.
"Tidak masalah. Aku sudah bukan lagi keluarga kerajaan yang harus menjaga penampilan."
"Bukankah menggunakan benda yang indah bisa membuat suasana hati lebih baik?"
Ini bukan basa-basi. Ibuku— bukan permaisuri— selalu mengatakannya setiap ia pulang berbelanja bersama kakakku.
"Suasana hatiku tak pernah lebih baik semenjak kepergian mendiang putra mahkota."
Aku merasa semakin kagum pada kesederhanaan wanita ini. Ia hanya berfokus pada keluarganya. Meskipun, sangat disayangkan orang sepertinya terjebak nestapa menahun. Ia harus bangkit. Tak hanya untuk dirinya, tapi juga putra semata wayangnya.
Mengingat binyeo yang kudapat dari seorang warga, segera kuserahkan benda itu padanya. "Anda bisa menggunakan ini lain kali. Meskipun tak seindah dari kerajaan, aku rasa ini cukup baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Summer Escape
Historical FictionA short story of Moon Sangmin and Oh Yeju who travelled to Joseon. Genre: General Fiction - Fantasi Roman Rating: R - (Restricted) Cover by: @iris_id Started: 26 Dec 2022 - 07 May 2023