46

33.1K 2.3K 1K
                                    

Previously on Crossover

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Previously on Crossover ...

Sekarang jam 11 malam. Seperti biasa, udara dingin Chicago langsung menusuk kulitku. Untungnya aku memakai pakaian yang cukup tebal. Begitu turun dari dalam pesawat, aku memperhatikan gerak langkah kakiku menuju baggage claim, mengambil barang bersama parapenumpang yang juga turun bersamaku. Kali ini aku hanya membawa satu koper kecil yang isinya di-packing secara mendadak. 

Setelah barangku berhasil diambil, aku langsung memesan Uber menuju rumah sakit di mana Thunder dirawat. Karena aku ingin segera melihat kondisinya, aku memilih untuk tidak singgah dulu di rumah. Aku juga tidak meminta ayah untuk menjemputku karena aku tahu dia sibuk. Dan aku juga belum mengatakan pada Leo kalau sekarang aku berada di kota yang sama dengannya. Entah dia akan terkejut atau marah, aku tidak terlalu memikirkan itu.

Pikiranku sekarang dipenuhi dengan kekhawatiran atas kondisi Thunder. Meskipun dia sering membuatku marah dan mengerjaiku, dia adalah kakakku satu-satunya. Aku tidak bisa membayangkan jika aku kehilangannya. Demi Tuhan, semoga dia baik-baik saja. 

•••

Aku keluar dari terminal bandara dan mengambil napas dalam-dalam sembari menarik koper. Udara dingin dan segar Chicago mengisi paru-paruku untuk sesaat, dan aku tidak bisa menahan getaran nostalgia yang tiba-tiba menyambar benakku. Rasanya sudah cukup lama sejak terakhir kali aku kembali ke kota di mana masa kelamku tercipta. Namun semua kenangan buruk yang pernah aku alami kini tergantikan dengan pemikiran bahwa Thunder sedang berjuang untuk hidupnya. Apapun yang telah diberikan Chicago untukku, aku tetap harus berada di kota ini untuk sudaraku satu-satunya, bahkan jika itu berarti menghadapi semua hantu masa lalu.

Sopir taksi mengajakku berbicara ketika aku naik ke dalam mobilnya, sembari kami menelusuri jalan-jalan sibuk kota Chicago. Aku mencoba fokus pada kata-kata pria berusia 40 tahunan itu, tapi pikiranku terus terlempar kembali ke Thunder dan Iris. Bagaimana jika Thunder tidak berhasil bertahan? Bagaimana aku akan menghadapinya jika hal lebih buruk dari ini terjadi? Aku tidak bisa membayangkan itu semua.

Ketika tiba di rumah sakit, aku buru-buru masuk untuk mencari ruangan Thunder. Jantungku berdegup kencang saat aku berjalan di lorong-lorong yang di dominasi warna putih steril, bau antiseptik membuatku merasa mual, ini seperti berjalan dalam mimpi buruk. Tapi ketika akhirnya aku menemukan beberapa anggota geng Cerberus berjaga di depan ruangan dan ada ayah di dalam sana, semua kekhawatiran dan ketakutanku menghilang. 

Ayah duduk di samping tempat tidur Thunder, tangannya yang agak keriput menyentuh lembut lengan kekar saudara laki-lakiku itu. Aku bisa melihat rasa sakit dan kekhawatiran terukir di wajah ayah sembari terus menatap wajah Thunder yang terbaring di sana, pucat dan lemah. Pemandangan itu mematahkan hatiku, dan aku tak bisa tidak membayangkan semua waktu yang telah kami habiskan bersama di kota ini. 

"Naomi," kata Ayah saat melihatku berjalan pelan menghampirinya, Dia berdiri untuk menyambutku. "Ya Tuhan ... Aku sangat senang kau di sini."

Aku tidak bisa menahan air mata saat aku memeluknya erat. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama, aku merasa seperti kembali ke rumah.

CROSSOVER (Book II)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang