Berbeda dari biasanya, kali ini papa memaksa Ola untuk berjalan dari gapura menuju gerbang sekolah. Semua ini disebabkan oleh benda berkilau yang ia bawa. Poni yang sudah lumayan panjang berhasil menutupi sebagian wajahnya. Sejak turun dari mobil, Ola berhasil menarik perhatian warga SMA Nusa Cendekia. Pandangannya tidak pernah lurus ke depan, selalu saja aspal hitam yang dilihat, ia sesekali tersandung karena berlari kecil.
“Pagi Viola, akhirnya ke sekolah juga, ya!”
Sedikit mengangkat kepala, Ola tersenyum kikuk menatap pria baruh baya yang menyapa di depan gerbang.“Pagi, Pak Teddy!” ujar Viola kemudian kembali menunduk lalu bergegas menuju ruang kelasnya.
Ola dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia, warga sekolah sudah dibuat geger duluan. Pasalnya, ia berhasil menyingkirkan seorang Etma.
Etma adalah siswa kelas sebelas yang dua kali menyabet medali perunggu di Olimpiade Matematika. Perkiraan awalnya, Etma akan masuk ke bidang Matematika dan Ola mengambil Fisika seperti biasanya. Namun entah mengapa, saat seleksi Ola lebih memilih matematika.
“Finally! Akhirnya lo datang juga. Ga seru tahu kalo sekolah enggak ada lo!” seseorang berlari dari sudut kelas menunggu Ola meletakkan barang bawaannya lalu memeluk gadis itu.
“Sama Sa, gue juga kangen banget sama lo!” ujar Ola sembari memeluk Sasya—sahabatnya—dengan erat.
“Lo tau ga, waktu lo ga ada gue di hukum sama Bu Lulu, terus lo tau ga, itu kakak kelas yang ...”
“Sa, gue ke kamar mandi dulu!” ucap Ola sembari mencubit pipi gadis itu.
Sebenarnya, Viola tidak ingin ke toilet. Namun, ia tahu betul ke mana arah percakapan itu. Dan Ola belum siap.
“Semua karena Papa!” Ola mencuci tangannya lalu membasuh wajahnya. Saat akan keluar, suara ketukan sepatu membuat Ola justru masuk ke bilik toilet. Takut saja berpapasan dengan siswi-siswi lain setelah kepulangannya dari Jakarta.
“Viola udah balik, tuh! Kira-kira Vani bakal makin lengket ke Arkan atau mundur ya!?”
Jantungnya berdegup kencang. Ola sampai sulit bernapas mendengar namanya diseret oleh beberapa orang yang ia yakini adalah kakak kelasnya. Itu bisa Ola jamin dari cara mereka menyebut nama Vani.
“Ga tau deh,” suara air mengalir membuat Ola semakin takut untuk keluar, “tapi kalo gue jadi Vani sih, gue bakal mundur ya. Kayanya cewek bodoh ke dia ga ada apa-apanya di muka Viola!”
KAMU SEDANG MEMBACA
Chrisola
Teen FictionOla dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia...