Sesuai dengan janji mama kemarin, hari ini mereka akan pergi ke mall untuk mencari baju yang akan Ola pakai. Ola memasukkan semua buku-bukunya ke dalam tas. Hari ini mama akan datang menjemput ke sekolah.
“Sya, hari ini gue dijemput Mama. Gue duluan, ya!” ujar Ola memakaikan ransel ke pundaknya.
“Tumben, La. Dalam rangka apa Tante jemput lo?”
Ola menggeleng. “Ga dalam rangka apa-apa, kok. Cuma mau keluar bentar.”
Sasya hanya mengangguk dan mengajak Ola untuk keluar dari dalam kelas.
“Gue pikir tadi lo bakal diantar sama Arkan!” kata Sasya. Diantar Arkan sepertinya lebih masuk akal daripada dijemput mama Viola. Lagi pula tadi, kan mereka baru aja bertemu.
“Arkan nggak ngajak sama sekali. Tadi juga dia dipanggil sama Pak Teddy. Jadi ngobrolnya sebentar doang.” Ola menghela napas berat. “Udah gitu, yang jemput dia Kak Vani, lagi!”
Setelah berkata seperti itu, Sasya menarik pergelangan tangan Viola untuk berhenti berjalan.
“Lo serius Kak Vani yang jemput Arkan?”
Viola hanya menganggukkan kepalanya.
“Lo ga curiga sama sekali?”
Viola memiringkan kepalanya lalu menaikkan kedua alisnya. Curiga untuk apa?
“Maksudnya? Gue nggak ngerti deh, Sya.”
Sasya menepuk jidatnya lalu menarik tangan Viola berjalan ke arah taman depan. Di sini sudah tidak banyak orang yang lalu lalang. Takut saja orang yang mendengar percakapan mereka.
“Ya, logika aja kali La. Buat apa coba Vani panggil Arkan waktu berduaan sama lo?”
“Kan gue dah bilang, Sya. Dia itu disuruh Pak Teddy buat panggil Arkan. Besok mereka kan ada turnamen, Sya!”
Sasya menghela napas kesal. Gemas sekali melihat pikiran positif Viola ini.
“La, mending lo kurang-kurangin Positive thinking ke Vani deh. Apalagi kalau itu udah tentang Arkan. Logikanya, ya. Kenapa coba dari banyaknya pemain basket, yang disuruh Pak Teddy itu malah Vani?”
Viola tidak langsung menjawab. Dia masih mencerna perkataan Sasya barusan.
“Mungkin yang di dekat Pak Teddy waktu itu ... Vani?” jawab Ola ragu.
Sudah tidak ada alasan lain di kepalanya selain itu. Lagian itu juga masuk akal, kan?
Sasya menggeleng lalu memijat jidatnya. “Terserah deh, La. Saran gue sih mending lo pikirin lagi aja kalo udah sampe rumah.”
Sasya berdiri lalu menarik tangan Viola kemudian membawanya berjalan ke arah gerbang.
Karna perkataan Sasya tadi, Viola juga jadi mikir dua kali. Tapi apa iya, Arkan punya sifat begitu? Arkan itu baik, suka senyum, dan dia juga punya banyak teman yang notabenenya tahu jika Arkan sudah berpacaran dengannya. Jadi, kalau cowok itu bertindak seperti apa yang Sasya katakan tadi, seharusnya teman-temannya sudah memberitahunya kan?
Kepala Viola jadi berat memikirkan itu. Selama mereka berpacaran, dia memang belum pernah bertanya tentang Vani kepada Arkan dan Arkan juga tidak pernah mau memulai membahas orang lain saat mereka bersama.
Saat akan masuk ke lobi sekolah, tidak sengaja Viola melihat Arkan berjalan tergesa-gesa dengan helm di lengannya. Ia sedikit berlari saat sudah memasuki lobi. Di belakangnya, ada Vani yang juga ikut berjalan tergesa-gesa. Sepertinya ia menyusul Arkan.
Viona penasaran. Jadi dia meninggalkan Sasya yang bercerita panjang lebar dari tadi. Ia mempercepat langkahnya menuju gerbang.
Viola berhenti tepat di dekat pos satpam. Arkan dan Vani sepertinya masih berada di parkiran, dan dari pos ini, seharusnya ia bisa melihat mereka keluar dari sekolah.
Viola mengedarkan pandangannya. Memeriksa setiap kendaraan yang keluar dari kawasan sekolah. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Chrisola
Teen FictionOla dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia...