Setelah makan, Tian memutuskan untuk masuk ke dalam gor sementara Melodi memilih untuk bersama Sasya dan Viola. Itu artinya sekarang sudah setengah jam semenjak pertandingan basket di mulai.
"Well, kenapa kalian nggak mau masuk ke dalam? Gue kira kalian keluyuran di jam sekarang buat jadi pendukung sekolah." Dengan sekali teguk, Melodi berhasil menghabiskan sisa jus jeruk lalu meletakkan gelas dan menatap keduanya bergantian.
Sasya mengangguk membenarkan. "Tadinya sih iya. Cuma gue mager banget teriak-teriak ga jelas buat dukung mereka."
Viola tersenyum mendengar ucapan Sasya. Beruntung Sasya tidak mengatakan kejadian sebenarnya. Tapi kalau jujur pun, Ola tidak akan marah pada Sasya. Memangnya mau bagaimana lagi?
"Kalo gitu lo cari kesempatan dalam kesempitan sih!" Melodi terkekeh sambil menggelengkan kepala, "kalo lo? Ga mungkin kan, juara OSN bolos kaya Sasya!"
Yang ditatap malah balik menatap Sasya lalu Melodi. "Tadinya memang ia. Cuma bolos sekali-kali nggak papa lah. Belajar tiap hari juga belum tentu masuk otak, kan?"
Melodi mengangguk. "Baru kali ini gue ketemu anak OSN yang ga ambis tiap hari. Beda banget sama anak-anak di sekolah. Apalagi Tian! Dia aja ke sini cuma minta kode soal ke Pak Muh buat di bagi ke anak-anak lain. Ga tau deh itu anak. Cape banget!"
"Tian itu yang tahun lalu juara tiga fisika, ya?" tanya Ola. Tian sama sekali tidak menjawab pertanyaan terakhir Viola. Ia hanya tersenyum lalu kembali bermain ponsel.
"Selain itu, di SMP dia juara umum IPA dan Matematika. Sayang banget tahun ini ga bisa ikut." Melodi menyandarkan pundak ke kursi lalu menghela napas sambil melipat kedua tangan. Pandangannya menatap lurus ke arah pintu.
Mendengar itu Ola mengerutkan kening. Tian tidak ikut? Kenapa? Viola ingin bertanya lebih tetapi Sasya sudah lebih dulu memotong dan mengalihkan pembicaraan ke arah lain.
****
Viola menatap cermin di kamar. Dress motif kotak-kotak berwarna putih dan hijau tea menempel sempurna di tubuhnya. Makan malam di rumah kepala sekolah hari ini membuat Viola harus merelakan jam tidur normalnya. Apalagi cuaca akhir-akhir ini sungguh tidak bersahabat.
"Mudah-mudahan gue ga salah kostum!" Gumamnya lalu mengambil tas di kasur dan berjalan keluar. Papa tidak akan menjemputnya karena jalan pasti sangat macet di jam menuju malam seperti ini. Sebaliknya, papa memesankan Viola taxi yang dari tadi sudah menunggu.
Rumah kepala sekolah tidak terlalu jauh dari kantor papa. Dari kantor hanya butuh waktu setengah jam untuk sampai di kawasan rumah elite berwarna putih yang tersusun rapi. Rumahnya ada di paling ujung dan paling berbeda dari yang lain. Ketika Ola turun sudah ada banyak mobil di halaman.
Ia mengela napas sejenak. Tiba-tiba saja perasaan gugup menyerang. Dengan perlahan ia mencoba berjalan memasuki area halaman. Menatap ke kiri dan kanan. Viola sangat kagum pada desain taman di sebelah kiri. Jarang-jarang orang mau memelihara satu jenis tanaman saja.
Pintu rumah sudah terbuka saat Viola sampai. Awalnya ia bingung karena dari sini tidak terdengar suara apapun dan Ola juga baru sadar bila tidak ada sepatu atau apapun tanda-tanda keberadaan orang ramai. Apakah ia salah masuk rumah?
“Permisi”
Viola melirik ke dalam. Benar-benar tidak ada orang sama sekali. Gadis dengan jantung yang berdetak lumayan kencang merogoh ponsel dan mencoba menghubungi papa.
“Lo!?”
KAMU SEDANG MEMBACA
Chrisola
Teen FictionOla dan piala. Sebenarnya sudah tidak asing. Tapi untuk kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Piala umum Olimpiade Sains Nasional bidang Matematika. Piala pertama yang diraih sekolah. Sebenarnya dari awal Viola terpilih mewakili SMA Nusa Cendekia...