confession - 1

225 13 0
                                    

"Yoshida."

Setelah mendengar suara yang begitu familiar memanggil namanya, Yoshida menoleh kearah samping.

Angin yang berjelajah membelai pirangnya dengan lembut. Matanya setengah tertutup, dan desiran angin kala itu turut meredup. Ia merapihkan kembali surainya yang berkilau dibawah terik matahari. Walau jarak diantara mereka tidak begitu jauh, Yoshida merasakan nafasnya tercekat.

Hatinya seketika jatuh setiap kali melihat Denji.

Dan entah kenapa, Setiap kali sosok itu memanggil namanya, Yoshida akan menarik senyum di sudut bibirnya. Matanya fokus kepada figur yang berada didepannya, mengunci manik si pirang dengan tatapan lembut yang tidak ia tunjukkan kepada sembarang orang.

"Kamu baru pulang, Den?"

Denji terdiam sebentar sebelum akhirnya membalas, "Belum. Gue boleh duduk disamping lo gak?"

Jawaban Denji membuatnya sedikit bingung, namun tidak butuh lama sampai akhirnya Yoshida mengangguk, mempersilahkan Denji untuk duduk disampingnya. Yoshida mengepalkan tangannya gugup. Di satu sisi, ia ingin terus berbincang dengan Denji. Namun hatinya masih merasa sedikit canggung untuk berhadapan dengan Denji setelah apa yang belum lama ini ia katakan.

Yoshida bukanlah orang yang tergolong jujur. Ia suka berterus terang, namun banyak dari kalimatnya yang tidak mencerminkan apa yang sebenarnya ia rasakan. Kalimatnya begitu manis, dan senyumnya terlihat tulus kepada semua orang.

Mungkin karena itulah ia merasa terpisah dari dirinya sendiri.

"Yosh, yang lo bilang kemarin itu..." Denji tersendat sedikit. Ia bingung bagaimana cara merangkai kalimatnya. Yoshida menatap Denji lekat, siap untuk mendengar semua hal yang ingin Denji tumpahkan kepadanya.

Setelah menyadari tatapan Yoshida, Denji menghela nafas berat.
"Sebenernya gue masih engga percaya, yosh. Lo bercanda kan? Abis main dare ya?"

Yoshida tidak bisa menahan tawa kecilnya setelah mendengar pernyataan Denji. "Engga, Denji. Aku beneran bermaksud untuk jujur ke kamu."
"Kalo masih engga percaya, aku akan ulang lagi dan lagi sampe kamu percaya."

Jawaban Yoshida terhadap bimbangnya membuat Denji sedikit tersipu. Ia mengingat betul apa yang terjadi kemarin. Bahkan, ia tidak bisa berhenti memikirkannya saat mencoba untuk tidur. Yoshida memiliki kontrol yang sebesar itu dalam hatinya.

"Lo maunya gue jawab apa?"

Denji sukses membuat Yoshida tertawa lepas di siang hari yang panas itu.

"...Balik lagi ke kamu Denji. Yang ngejalanin kan nanti kamu juga. Santai aja, Den. Apapun jawaban kamu, aku pasti terima resikonya."
Kalimat itu adalah bohong, Yoshida tidak akan menerima penolakan darinya. Sejatinya Yoshida memang egois, apalagi saat topiknya menyangkut Denji.

Denji berdeham, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bukanlah orang yang pintar, jadi pertanyaan seperti ini hanya akan menumpuk dikepalanya seperti soal soal matematika tempo hari.

Kemarin, Yoshida menyatakan perasaannya kepada Denji tiba tiba. Dengan sogokan berupa Cheesecake Strawberry yang dibelinya tidak jauh dari sekolah, Yoshida menemui Denji saat kelas sudah hening dan kosong.

Disaat itu, ia mulai mengatakan banyak hal yang membuat Denji terkejut. Mulai dari kapan, bagaimana, dan mengapa Yoshida bisa jatuh hati kepadanya. Semua alasan dan perasaannya sudah disampaikan kepada Denji layaknya seorang guru yang membuktikan kebenaran teori didepan kelas.
Tentu saja Denji membutuhkan waktu lebih untuk memproses pernyataan cintanya.

Belum lagi, Denji sebenarnya tidak pernah tertarik terhadap laki laki. Bukan hanya itu saja, Denji juga sudah memiliki seseorang yang ia sukai. Namun dihadapkan kepada situasi yang sangat asing baginya ini, mungkin kebingungan Denji berubah menjadi rasa penasaran. Denji menebak nebak, bagaimana jika ternyata tidak seburuk itu?

"Gak perlu merasa tertekan, den. Lo jawab kapan kapan juga gapapa,"
Bohong, tentunya. Sebenarnya, ia tidak rela untuk menunggu lama jika Denji bisa saja memberikan jawaban langsung kepadanya. Namun, sejak menyukai Denji, ia belajar untuk bersabar. Pria pirang yang sedikit lebih kecil daripadanya itu terkadang memang kelewat bebal, apalagi terkait hal hal seperti ini. Antara polos, bodoh, atau memang benar benar tidak mengerti.

Entah kenapa Yoshida yang tidak sabaran itu bisa jatuh hati kepada Denji yang terkenal sebagai manusia lemot dengan kapasitas pemrosesan informasi otak yang lambat.

"...Yaudah, oke." Jawab Denji. Yoshida memiringkan wajahnya, tersenyum getir selagi melihat ekspresi Denji yang terlihat lega akan jawabnnya.

"Oke... apa?" Yoshida kembali bertanya untuk memastikan jawaban Denji, sekali lagi. Sejak kapan Yoshida terjangkit penyakit lemot yang dimiliki Denji?

"Yaudah. Kita pacaran aja." Jelas Denji seketika.

april ; yoshiden.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang