SUAMIKU SAYANG

7 0 0
                                    

Masih pukul setengah 5 pagi, tetapi Maurin sudah bangun, sudah sibuk dengan penggorengan, ayam mentah dan sayur mayur yang akan dimasaknya, Maurin tidak banyak tahu tentang makanan, jadilah sebuah buku yang berjudul "Makanan Praktis ala Chef" dipakainya sebagai panduan. Hari ini adalah hari pertamanya bekerja lagi setelah cuti lima hari lamanya untuk pernikahan. Rasanya enggan kembali bekerja, ditambah lagi dengan Bara yang ternyata mendapat cuti tambahan dari Bosnya, membuatnya iri. Ini sangat tidak adil, sang istri sudah harus banting tulang bekerja dan sang suami masih bisa santai di rumah. Tapi Maurin tetap tegar, sebagai wanita karir ini memang harus dijalani, dia berpikir, ada baiknya juga Bara masih punya cuti 2 hari, jadi suaminya bisa membereskan rumah baru mereka yang masih berantakan itu.

Sehari setelah menikah mereka langsung menempati rumah itu. Jadilah tempat mereka itu masih penuh dengan kardus-kardus yang berisi beberapa barang yang masih tersimpan rapi. Juga ruangan yang masih belum diatur, seperti sofa coklat yang masih membentang di samping pintu dapur dan meja kursi makan yang masih dipakai tempat untuk menumpuk kardus-kardus yang masih belum dibongkar.

Setengah jam berlalu, Maurin masih sibuk dengan masakan yang dibuatnya, sesekali menyeka keringat sambil melihat beberapa kardus dan mengingat-ngingat tentang isinya. Tiba-tiba ada yang mengetuk pundak kirinya, dia langsung kaget. Padahal seharusnya dia tau, itu pasti Bara. Maurin tersenyum melihat Bara yang matanya masih segaris, masih terlihat sangat mengantuk, Bara lalu mendekat, menaruh dagunya di pundak Maurin. Dia membiarkan Bara disitu selama beberapa menit, sampai masakannya matang.

"Bayi gede, masih jam lima kok udah bangun?" Maurin mengangkat kepala Bara, membuka paksa mata Bara yang masih terpejam dengan kedua tangan mungilnya sambil berjinjit, Bara lebih tinggi, dan badannya lebih besar darinya, sehingga Maurin selalu suka jika Bara memeluknya seperti saat ini, sangat hangat.

"Ibu asuhnya ngilang" kata Bara lalu mengecup kening Maurin. Maurin berjinjit hendak membalas dengan mencium pipi Bara ketika matanya melirik ke jam dinding yang sudah menunjuk ke angka setengah 6.

"Teeettt!!!! Aku mau mandi, kerja! Kerja!" dia langsung berlari ke kamar mandi, meninggalkan Bara yang langsung menghempaskan badannya ke sofa coklat di depan dapur dan melanjutkan tidurnya.

"Bangun ah, Kebo banget sih kamu Bar" Maurin yang sudah siap dengan pakaian kerjanya menepuk paha Bara, menyuruhnya bangun sekaligus menyingkir, memberikannya tempat untuk duduk sambil menyantap makanan yang dia buat tadi.

"Bar.. Bar.. kamu ya, udah nikah ini berusaha dong manggil akunya yang romantis, pakek panggilan sayang, apa kek, Beby, Cinta, Sayang, Honey, Akang, atau Suamiku" Bara menggerutu. Bahkan setelah menikah pun Maurin tetap memanggilnya Bara. Sejak berpacaran enam tahun yang lalu, bisa dihitung dengan jari berapa kali dia memanggil Bara dengan pangilan istimewa. Susah sekali rasanya, Maurin tidak pernah bisa mengucap kata Sayang, atau apapun itu, tenggorokannya tercekat, dan seperti mendadak gagu. Bara sudah berusaha berkali-kali membujuk, tetapi tetap saja tidak bisa diucapkan Maurin, dia lebih nyaman memanggil Bara dengan "Bara" ketimbang yang lain.

"Udah deh, jangan bahas itu"

"Tapi aku suami kamu sekarang, kamu harus nurut sama suami, kalau suami bilang A kamu harus A, kalau suami nyuruh kamu manggil dia Suamiku kamu harus panggil dia Suamiku, kamu harus panggil aku Suamiku" kali ini Bara memakai kekuasaannya sebagai suami untuk membujuk Maurin.

"Oh Yeah?"

"Ck.. Istri itu..."

"Berisik ah kamu, udah sana sarapan dulu" Maurin menyodorkan makanan dipiringnya ke depan wajah Bara. Wajah Bara langsung datar. Kesal.

Aku dan DiaWhere stories live. Discover now