Bab II - Deduksi (Bagian 3)

413 37 17
                                    

Seketika kami sudah berada di Kantor Publik milik INS yang terletak di daerah Jakarta Pusat. Aku berdiri di sebelah Adrian, dan melihat Nyonya Eka sedang diinterogasi oleh Rama dan Agen itu.

"Untuk terakhir kalinya, aku mencintai suamiku. Aku tidak menyakitinya, dan sebelum kejadian ini, aku pun tidak tahu bahwa ada ruang rahasia di dalam rumahku", jelas Nyonya Eka.

"Kau mengerti mengapa sulit untuk kami percaya kepadamu, kan?" tanya Rama.

"Tempat itu direnovasi sebelum Bestari dan aku pindah dua tahun yang lalu. Dia mengawasi seluruh konstruksinya."

Secara diam-diam, Adrian menggunakan HP-ku untuk memotret Nyonya Eka.

"Maaf, tapi, uh, apa kau bilang, dia sengaja membuatnya, tanpa memberitahumu?" tanya Agen itu.

Aku sudah tidak begitu memperhatikan apa yang terjadi di ruangan itu. Keherananku mengenai kemampuan Adrian menjadi pusat pemikiranku saat itu. Dengan berani aku mulai bertanya kepada Adrian. "Bagaimana kau melakukannya?"

"Melakukan apa?" jawabnya datar.

"Menebak-nebak sesuatu."

"Aku tidak menebak. Aku memperhatikan. Dan saat aku sudah selesai memperhatikan, aku mendeduksi. Aku sebenarnya sudah mengetahui bahwa kau belajar kriminologi, dari cara pandangmu pertama kali masuk ke kamarku. Mudah."

"Tidak semua kriminologi-"

"Tetapi seorang kriminologi pasti dilatih untuk melakukan kebiasaan itu. Kau tahu kata pepatah tua? Disaat kau menghilangkan segala hal yang tak mungkin, apapun yang tersisa, walaupun itu tak masuk akal, adalah kebenaran.

"Melihatmu yang seorang kriminologis, namun beralih untuk pindah ke ibukota dan meninggalkan kesempatanmu bekerja di suatu lembaga tertentu, menghadiahkanku informasi bahwa pasti ada hubungannya dengan kematian Ibumu. Antara kau tidak mampu hidup sendiri, atau kau kecewa akan kerja kerasmu sendiri. Ilmu yang kau pelajari selama 3 tahun-atau 4-tidak membawa penyelesaian terhadap masalahmu."

Adrian terlalu benar. Aku tidak bisa berkata apa-apa lagi. Memang, mengingat Ibu yang meninggal karena dibunuh oleh seseorang, menyisakan perasaan pahit terhadap kehidupanku. Rasanya aku tidak ingin menjadi kriminologis, sebelum bertemu dengan Adrian saat ini.

"Dan bagaimana kamu tahu bahwa seorang kriminologis mempunyai pandangan seperti itu?"

"Bing", jawab Adrian. "Tidak semua hal bisa dideduksi."

Aku harap Adrian tahu mengenai Google.com.

Lamunanku dihentikan oleh masuknya Rama dan Agen Itu.

"Aku, uh, hanya ingin bilang terima kasih atas bantuannya hari ini. Kau menangkap orang itu, dan, uh, dan kami sangat bersyukur. Kami dapat mengurusinya dari sini." Agen itu mengulurkan tangannya kepada Adrian.

"Dengan hormat, 'Detektif', aku sangat meragukanmu, karena aku memiliki alasan untuk percaya bahwa Nyonya Eka Bestari tidak membunuh suaminya sendiri", jawab Adrian sambil keluar dari ruangan kecil ini.

Agen itu terlihat bingung, dan ikut keluar mengejar Adrian "Hei, tunggu dulu." Aku dan Rama ikut keluar.

"Apa katamu?" tanya Agen itu.

"Nyonya Eka memiliki kaki yang agak kecil, atau kau tidak menyadarinya?

"Kakinya berukuran delapan inci-jika kau menggunakan santuan inci-dan ukuran dari sepatu itu adalah 11 inci."

"Jadi, berarti dia pintar, kan? Menggunakan sepatu yang lebih besar untuk mengecoh kita"

"Dan apa kau pikir ia akan menggunakan tangan yang lebih besar juga saat mencekik suaminya?"

DEDUCTIONISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang