Adrian tidak berkata apapun setelah itu. Entah mengapa, aku juga tidak tau mengapa aku tidak menanyakan sesuatu kembali. Nada bicaranya yang datar seakan-akan membuatku percaya kepadanya. Dan tidak meragukannya.
Sesaat kemudian kami telah sampai di rumah yang cukup mewah. Rumah dua lantai bertata minimalis tersebut sangat terlihat besar dengan tamannya yang kecil. Mungkin aku membutuhkan sekitar 5 menit untuk mencapai pintu rumah dari gerbang depan.
Di depan pintu terlihat seorang pria yang kurus, tidak terlalu tinggi dengan potongan rambutnya yang rapih. Dia masih menggunakan seragam SMA lengkap namun tanpa dasi. Dia nampak kebingungan sampai kami tiba di depan pintu.
"Akhirnya lu datang juga" sahut pria itu. Kami mendekati pria itu.
Adrian hanya terdiam dan tidak merespon. Dengan sigap Pria itu mulai berjalan dan kami mengikutinya. Dan sekarang aku mulai sadar bahwa pria itu pasti yang bernama Hilmi.
Setelah menaiki tangga yang hanya selebar satu orang, kami kemudian duduk di sebuah ruang yang agak luas, dengan sebuah meja kecil di tengahnya. Terlihat di atas meja sebuah paket berbungkus coklat yang ukurannya mirip seperti satu buku catatan yang agak tebal.
Kami bertiga kemudian duduk disekeliling meja tersebut. Kemudian pria yang kupercayai sebagai Hilmi itu, memberikan sepucuk surat kepada Adrian.
"Ini surat yang disertakan bersama paket ini. Demi Tuhan! Surat ini sangat mengerikan!" Hilmi terlihat panik.
Adrian kemudian melihat surat tersebut. Dia tidak terlihat memperhatikannya dengan seksama, dan langsung memberikan suratnya kepadaku.
Surat tersebut memiliki bercak darah dibagian pojokannya, yang pastinya merupakan darah palsu. Aku tau mengapa Adrian tidak menghiraukannya, karena ia tau tentang hal itu. Setelah kuarahkan kertas tersebut ke lampu atas, tidak terlihat ada sesuatu yang aneh. Aku kembali melihatnya dengan seksama. Isi dari surat tersebut tidaklah penting dan ternyata hanyalah sebuah curhatan anak muda yang labil. Walaupun aku masih suka melakukan hal-hal labil, tapi aku masih tau diri dan bisa menguasai diriku.
Setelah fokus beberapa saat ke kertas tersebut, aku ternyata melewatkan saat dimana Adrian membuka paket tersebut. Hmm, sebuah buku bersampul hitam dengan karet hitam agar menjaganya tetap tertutup milik siapakah itu? Aku langsung mendekatinya untuk mengamatinya lebih lanjut.
"Bagaimana menurutmu, kak?" Terdengar suara yang sangat tidak asing bagiku. Ternyata itu adalah suara Adrian yang berbicara kepadaku. Kak? Adrian memanggilku kak?
"Kak? Ini kakak lu?" Tanya Hilmi dengan ekspresi kebingugan.
"Iya. Ini kak Melia, sepupu jauhku. Ia baru saja datang dari Jogjakarta dan akan tinggal dirumahku untuk beberapa saat. Mohon mengerti." Hilmi tampak terdiam tanpa ekspresi, tanpa reaksi. Seakan-akan ia mengiyakan perintah Adrian.
Namun, Jogja? Bagaimana ia tau? Seingatku diriku sama sekali tidak memakai hal-hal yang berasal dari Jogja, maupun tulisan bertuliskan Jogjakarta. Sungguh anak yang sok misterius, menurutku.
"Tolong ambilkan aku kaca pembesar. Sepertinya minggu lalu aku meninggalkannya disini", Perintah Adrian terhadap Hilmi. Dengan sekejap Hilmi beranjak dari posisi duduknya dan berjalan ke lantai bawah.
"Nah, bagaimana?" Pertanyaan Adrian mengaburkan pikiranku yang kosong. Aku bingung harus menjawab apa.
"Maksudmu, dik?" tanyaku kepadanya.
"Aku butuh kamu untuk membuat kesimpulan dari buku ini. Agar kamu tidak terlihat mengganggu di diskusi ini." Mengganggu! Sangat tidak sopan Adrian mengatakan itu kepadaku. Sungguh tidak sopan! "Aku tau kamu merupakan seorang lulusan Kriminologi dari sebuah Universitas ternama di Jogjakarta dan kamu pergi merantau ke Jakarta karena Ibumu yang terkena musibah. Aku mungkin bisa mendapatkan pandangan lain dari seseorang yang memang mempelajari materi tentang dunia kriminal."
Pernyataan Adrian membuatku diam sejenak. Bagaimana ia tau semua itu? Meskipun aku adalah seorang sherlockian, namun aku tidak percaya bahwa ada seorang "sherlock amatir" sungguhan di dunia nyata.
Seketika Hilmi kembali dengan membawa sebuah Lup yang sangat besar, aku perkirakan perbesarannya ialah 10 sampai 15 kali, dilihat dari titik fokus yang terbentuk dari cahaya matahari diatas kami yang menjalar menembus kaca.
Adrian menerima Lup tersebut dan memegangnya dengan erat. Ia nampaknya masih menungguku membuat kesimpulan, atau paling tidak mencari-cari informasi dari benda yang kami amati saat ini.
Aku pun memberanikan diri untuk berbicara. "Oke, bolehkah aku mengambil buku itu? Terima kasih. Hmm. Buku ini terlihat sangat mahal, dengan cover yang agak tebal-sepertinya karton-dan kertas berwarna kekuningan yang sangat halus. Karet buku yang agak longgar, menunjukkan bahwa buku ini sering ditulis dan sering dibuka. Nampaknya ini buku harian seseorang."
Adrian kemudian menempali jawabanku "Hampir lengkap, namun ada satu hal yang kakak lupakan."
Aku masih kebingungan apa kiranya yang masih kurang. Padahal semuanya terlihat jelas sudah. Aku seakan-akan justru menganggap Adrian sebagai Sherlock Holmes ulung, atau biasa para Sherlockian sebut sebagai "Young Sherlock Holmes".
"Buku ini tidak memiliki tulisan!" Sebut Adrian dengan volume agak keras.
Buku yang tidak memiliki tulisan? Bagaimana mungkin? Tidak mungkin.
Setelah mendengar hal itu Hilmi langsung menarik buku tersebut dan membukanya. Terlihat banyak sekali tulisan bermodelkan sebuah diary-buku harian-yang sangat rapih. Dengan tulisannya yang sungguh mempesona, dan sungguh jelas tulisannya persis seperti yang terdapat di surat kecil yang kami baca sebelumnya dan saat di rumah.
"Apa kamu tidak memperhatikannya? Buku ini tidak memiliki-paling tidak hanya satu-tulisan. Coba perhatikan." Tegas Adrian.
"Ah lu bohong! Tak mungkin lah, jelas-jelas buku ini terdapat tulisan di dalamnya. Lu cuma membual!" Hilmi dengan keras kepala menentang Adrian.
Aku yang terdiam melihat mereka berdua 'berdebat', langsung mengambil buku tersebut. Aku perhatikan kembali beberapa tulisan yang terlihat seperti curhatan-curhatan anak muda. Aku tidak terlalu memperhatikan isinya, namun tulisannya. Dan aku mulai sadar akan satu hal: Catatan tersebut ditulis oleh pensil.
"Pensil!" Seruku terlalu kencang. Walaupun niatku untuk memberitahu kedua pria tersebut tentang satu hal yang kurang, namun sepertinya Adrian tidak mendapatkan apa yang aku maksud. Justru ia memberiku sebuah pensil bertuliskan 2B pada bagian ujungnya.
Aku yang bingung untuk apa pensil itu, langsung mengambilnya. Dan entah pikiranku seakan-akan bekerja cepat, aku langsung membuat sebuah garis bawah di kata terakhir yang tertulis pada bagian yang aku baca saat ini, Tanggal 25 Februari 2014. Mengenai curhatnya tentang kesedihan si penulis terhadap Hilmi yang telah melupakannya. Dan seperti kata ku tadi, aku membuat sebuah garis persis di bawah kata 'sederhana.' Dan aku memperhatikannya dengan seksama.
Dan di saat aku berkata: "Fotokopian! Ini bukan buku yang asli, melainkan buku duplikasi. Lihat! Terdapat perbedaan bukan?", Adrian yang tampaknya sudah sadar terlebih dulu langsung pergi turun ke lantai bawah dan pergi meninggalkan rumah tersebut. Tanpa sebuah pesan--atau sepertinya pesan yang aku mengerti--ia hanya mengatakan "Fotokopian! Itulah yang salah!".
Dan Adrian meninggalkanku sendiri bersama Hilmi di ruang ini, dengan sepi. Sampai keheningan dipecahkan oleh suara sebuah klakson mobil yang sangat keras disusul oleh teriakan seorang pria muda yang terdengar berat.
"Adrian! Keluar sekarang dengan tangan di atas! Anda sudah kami kepung!" Seketika aku mendadak panik.
KAMU SEDANG MEMBACA
DEDUCTIONIST
Misterio / SuspensoMelia Cantika. Seorang Sarjana Muda kriminolog yang harus berpindah ke Ibu Kota karena Ibu-nya yang meninggal. Dia menemukan seorang anak yang sangat luar biasa di sana. Dan perjalanan misterius dan mengasyikkan akan segera dimulai. **************...