Bab I - Sebuah Buku Yang Ditemukan (bagian 3)

789 48 9
                                    

Aku yang bingung akan apa yang terjadi langsung lari menuju ke luar rumah. Aku mengambil jalan belakang karena aku tau, mereka pasti sedang mengincar Adrian atau orang-orang yang bersamanya. Aku tidak ingin menuju ke asal suara tersebut dan langsung berlari ke belakang rumah.
Aku sudah tiba di taman belakang, dimana aku melihat sebuah pintu pagar yang dikelilingi semak-semak tinggi, sehingga terlihat seperti gapura. Aku langsung berlari ke arah pintu tersebut dan entah, aku merasa sulit bernafas. Sepersekian detik aku menyadari bahwa seseorang telah menyekapku dengan sapu tangan dan aku kehilangan ingatan sejak itu.

-
Pusing. Hal pertama yang aku perhatikan setelah bangun dari lelapku. Gelap. Namun bercahaya. Sebuah cahaya yang seketika muncul, dan hilang, layaknya sebuah malaikat yang berjalan dari ujung mata ke mata.
Aku sadar bahwa itu adalah sebuah lampu jalan, lampu yang berjalan. Layaknya sebuah bayangan, yang tidak ada hentinya.

Halus, lembut, dan empuk. Aku seperti menduduki sebuah sofa yang terbuat dari kulit. Namun, apakah aku ada di sebuah rumah?

Aku mulai sadar bahwa diriku sedang berada di dalam mobil yang berjalan. Namun, aku tidak begitu tau, dengan siapa aku berada di mobil itu. Yang dapat aku lihat hanyalah sebuah lubang kecil yang tampak seperti kain hitam halus.

Dengan keadaan tersebut, sebuah pelajaran dari kelas kriminologi saat itu, ketika kita sedang dalam keadaan yang sulit, kita harus tetap tenang dan menguasai keadaan. Berkat itu, aku hanya diam dan menunggu akan diapakan aku ini.

Sontak badanku mengarah kedepan. Mobil (ya, aku mengasumsikan kendaraan itu adalah mobil) tersebut berhenti. Dan aku memilih diam dan berpura-pura pingsan, agar mereka tidak curiga.

Plak! Ternyata salah satu dari mereka menampar wajahku. Refleks, aku bangun. Dan aku memutuskan untuk tidak takut, walaupun aku belum pernah merasakan hal ini sebelumnya. Benar, teori lebih mudah diingat dibandingkan dengan mempraktikkan.
Mereka menyeretku ke luar mobil, membawaku melewati koridor yang, cukup dingin. Mungkin menggunakan AC? Sepertinya. Dan juga intensitas cahaya yang cukup tinggi. Tampaknya aku dibawa ke sebuah kantor.

Aku dipaksa duduk. Kain penutupku di bukanya, dan suara pintu yang dibanting terdengar. Aku belum sadar sepenuhnya, karena yang hanya dapat kulihat ialah lampu yang terang, keadaan ruangan yang seperti ruang Hall Mini, dengan lantai karpet dan aku terduduk di sebuah kursi kayu, lengkap dengan ikatan di bagian badan.

Kesadaranku mulai pulih. Aku melihat seorang yang cukup tinggi, dengan blesser hitam beserta rambutnya yang agak coklat. Sungguh cantik dan elegan dia. Walaupun hal itu tidak aku pedulikan.

"Selamat Datang", sambutnya. Aku bingung harus menjawab apa.

"Mohon maaf atas ketidaksopanan anak buah saya yang memanggil anda dengan cara yang kotor."

Aku membalasnya. "Apa yang kau inginkan?"

Wanita itu berjalan kearahku. "Saya tidak ingin berbuat apa-apa.. Saya hanya ingin membicarakan tentang kesepakatan bisnis." Wanita itu tersenyum.

Dari jarak yang cukup dekat, aku bisa menilai bahwa wanita ini merupakan wanita yang cukup elegan, dengan kerutan di wajahnya yang tidak begitu tebal, aku bisa mengira bahwa wanita ini berusia 25 tahun, hanya gayanya saja yang agak tua. Lengkap dengan high heels merah yang sungguh, tidak cocok dengan blessernya.

"Bisnis? Aku tak mengerti apa maksudmu", jawabku dengan ketus. Aku harus memikirkan bagaimana caranya aku bisa keluar dari sini.
Aku mulai sadar bahwa aku tidak terikat. Aku langsung berdiri.
Wanita itu berkata "Akhir-akhir ini kami melihat anda masuk ke lingkungan hidup seorang aset negara, Adrian Saga."

Aku tidak mengerti mengapa wanita itu menyebut Adrian sebagai aset negara. Dan aku masih tidak mengerti
"Dan kami menawarkan anda untuk berkerjasama dengan kami", lanjutnya.
"Kerjasama?" balasku.

"Ya. Kami menawarkan pengawasan dan pemberian informasi penuh terhadap Adrian Saga. Dengan jumlah uang sebesar 50 juta per bulan. Bagaimana?"

"Sungguh, siapa dirimu sebenarnya?", tanyaku.

"Anggap saja, musuh bebuyutan-nya. Dia pasti tau."

Aku terdiam sejenak. Tidak, aku tidak bisa membiarkan begitu saja anak kecil ini diawasi oleh pihak negara. Dia masih kecil.

"Tidak. Aku tidak berminat mengikuti penawaranmu."

"Benarkah? Saya sungguh perlu memperhatikan gerak-geriknya sekecil mungkin. Untuk mengatasi hal-hal yang tidak diinginkan."

"Tidak. Terima kasih. Aku sangat menghargai privasi seseorang."

"Kalau begitu anda telah membuat kesalahan yang sungguh fatal. Saya sarankan anda memikirkan kembali dan merenungkan kembali apa yang telah anda pilih." jawabnya dengan dingin. Dia kemudian mundur ke belakang.

"Anak buah saya akan mengantar anda kembali ke rumah. Ingatlah, kami akan tetap mengawasi anda."

Seketika masuk seorang pria berpostur tegap yang datang dengan kemeja, jas hitam, dan dasi merah. Pria itu mengantarku menuju sebuah mobil sedan hitam berplat merah. Aku tidak ingin menyebutkan plat nomernya, karena aku pun tidak mempedulikan hal itu. Di jalan aku hanya diam tanpa suara. Diam, dan diam.

Sesampainya di rumah, aku langsung diturunkan di depan pagar. Aku masuk ke dalam rumah, dan memasuki kamar tidurku. Hari mulai sore, dan aku belum mandi.

Saat aku membuka pintu kamar, aku menemukan Adrian sedang terlentang di atas ranjangnya. Aku yang memperhatikannya, langsung terdiam.
Tidak seperti biasanya ia melakukan itu.

Sesaat kemudian aku menuju sisi daerahku, dan menemukan sebuah kotak kayu diatas mejaku yang terdapat paket disebelahnya. Sesaat aku ingin membuka kotak tersebut, seketika Adrian berteriak "Jangan!"
Lalu sekilat itu juga terdengar jeritan BOOM.

DEDUCTIONISTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang