"Kenapa ga masuk?"
Alihan suara berat dengan tepukan di bagian bahu itu membuat kepala Ghata menoleh cepat ke arah belakang. Dia menatap pria di depannya sekilas, tersenyum kecil, dan kembali berbalik arah dengan kepala yang bersandar nyaman pada tembok rumah.
"Nungguin Mas Rafa."
Mahendra terdiam mematung. Desiran aneh setelah nama itu kembali dia dengar berhasil membuat tangan yang semula tersimpan di bagian bahu Ghata itu menurun. Langkah kakinya perlahan sejajar dengan tubuh tegap Ghata yang setengah menyender pada tembok rumah.
"Ini sudah malam. Mas mu bukan anak kecil lagi yang kepulangannya harus selalu di tunggu," Kepala Mahendra menoleh, "Masuk ke dalam, nanti masuk angin."
"Ta--"
"Nurut sama Papa kalau ga mau buat masalah."
Ghata menunduk lesu dengan napasnya yang berembus kasar. Tak ingin membuat masalah apapun, dia lekas beranjak masuk dan meninggalkan Mahendra seorang diri dengan diamnya yang meninggalkan teka-teki.
Satu jam lamanya merenung, terdiam dengan tangan yang terselip masuk ke dalam saku celana, atensi Mahendra lekas menajam ketika melihat kedatangan mobil hitam besar yang terparkir masuk memasuki halaman rumahnya yang cukup luas. Pria itu menatap ke arah depan dengan matanya yang tak menunjukkan tatapan hangat. Lekas ketika remaja di dalamnya itu keluar, Mahendra dengan segera berjalan mendekat dan menyuruh remaja di depannya untuk tidak langsung masuk.
"Darimana?" Suara Mahendra keluar. Jarak yang sedikit terbentang, berhasil membuat langkah kaki Rafa terhenti dan berakhir mengangkat kepalanya dengan segera.
"Punya mulut kan?" Satu alis Mahendra terangkat tinggi. Dia menatap penampilan putra sulungnya itu yang terlihat rapi tanpa adanya jejak nakal yang tersimpan dari auranya yang cukup berbeda jauh dengan Ghata.
Rafa terdiam sebentar sebelum seulas senyumnya tertarik. "Rafa baru pulang nganterin teman."
Mahendra menatapnya acuh. "Masih berani pulang ke rumah ini?"
Kepala Rafa lagi-lagi terangkat setelah menundukkan kepalanya selama beberapa saat. Tatapannya tak sedikitpun beralih ke arah lain ketika suara itu membuatnya terdiam cukup lama.
"Rumah besar ini tidak menerima kehadiran seorang anak yang telah berani menyingkirkan saudara kembarnya sendiri."
Degg
Bagai sebuah tusukan tajam, dada Rafa terasa dihantam sesuatu yang berhasil membuat kepalanya tertunduk dalam. Jemari tangannya mengepal kuat sebagai saluran sakit yang tengah ia tahan supaya tidak mengeluarkan amarah sekalipun ujaran kata benci terhadap sang Papa.
"Saya sudah tidak menganggap kamu sebagai anak saya." Mahendra menjeda ucapannya sesaat, "Masih berani menapakkan kaki kamu di rumah yang sudah kamu hancurkan ini?"
"Maaf--" Rafa mengangkat kepalanya. Dia berhasil menemukan sorot luka dari tatapan tajam di depannya itu seolah menghalang untuk bersikap empati dan kasihan terhadapnya. Rafa kenal betul dengan tatapan itu. Seperti yang sudab Arzi bilang selama beberapa tahun terakhir, tidak akan ada satu orangtua manapun yang akan dengan begitu mudah melupakan darah dagingnya sendiri. Kalaupun itu ada, percayalah jika itu adalah sebuah kebohongan besar.
YOU ARE READING
Al-Birru (DIROMBAK)
Teen Fiction📌 GA FOLLOW GA ELIT 📌 "Kembali pulang jika lelahmu sudah usai." Rafa masih ingat jika ia terlahir bersama. Rafa juga masih ingat akan penyebab berubahnya sikap sang Papa terhadap dirinya. Umur tujuh belas tahun dimana semuanya berubah dengan begit...