★ Denial - 3

271 27 0
                                    

★★☆

hajeongwoo area.
; haruto as alaska
; jeongwoo as degas
; doyoung as diaz
; junghwan as juan

★★☆

Lo cemburu kan?

Lo cemburu kan?

Lo cemburu kan?

Lo cemburu kan?

“Alaska! Bisa jawab pertanyaan saya?”

Suara lantang dosen pun menyadarkan Alaska dari lamunannya. Ia langsung menatap dosen dan mengingat pertanyaan yang diajukan beberapa menit lalu.

“Jika Anda tidak ingin ada di kelas saya, silahkan keluar”

“Saya minta maaf,” balas Alaska pelan, namun terdengar hingga seisi kelas.

Degas yang melihat Alaska yang sedang diomeli itu tersenyum simpul, “Ada-ada aja,” monolognya kecil.

Setelah jam mata kuliah selesai, Alaska tergesa merapikan barangnya dan menyampirkan tas ranselnya sebelum keluar dari kelas.

Degas sudah memprediksi hal itu akan terjadi, Alaska semakin menghindarinya setelah ia menuduh bahwa pemuda itu cemburu pada Rehan.

“Cemburu tinggal ngomong, sohib siapa si lu,” monolognya lagi. Ia ikut membereskan barangnya sebelum keluar kelas.

##

Gimana? Bener kan info gua?tanya Diaz dari ujung sana.

Degas mengangguk walaupun temannya itu tidak melihatnya, “Yakin sih ini gua. Tapi dia makin ngehindar gimana dong?”

“Aman itu mah. Ntar malem, gua jamin dia bakal chat lo,” balas Diaz.

Degas menautkan kedua alisnya, “Yakin amat lo? Dukun ya lo?”

“Anying! Udah tenang aja. Percaya sama gua”

Dih, ogah percaya sama lo”

“Emang temen kampret ya lo!”

Tut.

Degas mematikan telepon itu sepihak, ia tertawa karena berhasil membuat Diaz kesal.

Tidak sengaja, ia melihat punggung Rehan yang sedang berjalan di lorong menuju ruang aula. Degas pun langsung mengejarnya.

Tidak bisa di pungkiri, tungkai jenjangnya itu dengan cepat menyusul Rehan yang jauh di depan sana. Ia berhenti tepat di hadapan pemuda itu.

Degas segera menahan pundak Rehan sebelum pemuda itu kabur lagi, “K-kak! Gua perlu ngomong sama lo,” pintanya. Napasnya sedikit terengah akibat lari tadi.

“Soal apa?”

“Lo sama Alaska. Kalian kenapa?” tanya Degas.

Rehan langsung menunjukkan raut tidak sukanya ketika mendengar nama Alaska, “Temen lo ga jelas, mukul gua tiba-tiba,” jelasnya.

“Dia pasti punya alasan. Lo ngomong apa?”

“Gua bilang kita TTM an, salah?”

Ah sial, pantes dia marah banget batin Degas.

##

“Alaska!” panggil Degas namun di hiraukan oleh sang empu.

Alaska tetap cuek dan mengeluarkan motornya dari parkiran, menganggap Degas tidak nyata disana.

Degas yang sudah setengah kesal itu berjalan mendekat dan segera mencabut kunci motor Alaska tanpa bicara lagi. Raut wajahnya sudah merengut kesal.

“Kita perlu bicara, Alaska”

“Balikkin kunci gua, Degas”

Degas menggeleng tegas, ia menaruh tangannya tepat di belakang tubuhnya. Tubuh tegapnya kini berhadapan dengan tatapan tajam Alaska.

“Degas, gua mau balik,” seru Alaska sekali lagi.

“Ga akan gua balikkin sebelum kita ngobrol”

Alaska menatap Degas jengah, “Terus sekarang kita ngapain? Ngobrol kan? Balikkin sini”

“Engga!” tekan Degas, ia menggeleng tegas. “Kita beneran perlu ngobrol, Alaska,” lanjutnya, kini nadanya melembut penuh putus asa.

“Gua mau sendiri dulu. Emosi gua belum stabil, Degas. Nanti lo kena imbasnya, mau?”

Bibir Degas mengerucut, ia menggeleng dengan lesu. “Tapi janji dulu ya?”

Alaska mendengus, “Iyaa bawel, nanti ngobrol lagi, oke?”

Degas menampilkan giginya sebelum mengembalikkan kunci motor sang pemilik. “Lo udah janji ya pokoknya. Kalau ngelanggar, gua gangguin tiap hari liat aja”

##

Petang pun tiba. Alaska masih fokus memandang beberapa foto dirinya dan Degas yang ia cetak. Pikirannya berkecamuk, banyak yang menganggu pikirannya.

Terlebih dari chat Diaz beberapa menit yang lalu. Ia semakin pusing dibuatnya.

Semakin lama ia bergelut dengan pikirannya, semakin yakin ia akan jujur soal perasaan yang menganggunya beberapa minggu ini.

Persis seperti dugaan Diaz, Degas hampir tersedak ketika melihat nama Alaska muncul di layar smartphonenya.

Alaska menelponnya.

“Halo?” sapa Degas.

“Basa basi banget nih?” balas Alaska.

Ya udah maunya gimana, Yang Mulia?” ejek Degas.

Terdengar tawa dari seberang sana, “Anying lo! Serius nih gua”

Iya ini gua tungguin”

Gua mau minta maaf sama lo, kalau kesannya waktu itu gua ikut campur sama urusan hati lo. Padahal mah itu terserah ya hati lo mau berlabuh kemana? Tapi jadinya gua takut

Degas menggigit bibir dalamnya gugup, “Takut, kenapa?”

“Awalnya, dipikir takut karena kehilangan sahabat terbaik gua. Ternyata setelah merenung seminggu ini gua bukan takut karena kehilangan sosok sahabat gua sih”

Tapi?”

“Gua takut kehilangan lo, Degas. Gua ga mau kehilangan sosok lo”

Tapi gua ga kemana-mana, Alaska”

“Engga. Lo ga ngerti”

“Ya buat gua ngerti, Alaska”

“Gua jatuh sama lo, Degas. Gua udah terbiasa sama kehadiran lo, afeksi lo selama ini. Gua udah jatuh sama lo tanpa gua sadari”

“So you're jealous?” alih Degas.

“For a God sake, Degas? Seriously?”

Nyali Degas menciut setelah mendengar nada kesal Alaska dari seberang sana, “G-gua mau mastiin aja,” jelasnya.

At least bales dulu pernyataan panjang lebar gua. Gua udah nurunin gengsi sama ego buat ngomong itu sama lo ya, cerocosnya.

Degas tertawa dibuatnya, “Ajarin pelan-pelan, bisa?” tanyanya.

“Maksudnya?”

Degas menahan napas sebelum menjawab, “Ajarin buat jatuh sama sosok lo, bukan sebagai sahabat but as a lover. Will you?

selesai.

an. silahkan berimajinasi semua~

memories ★ hajeongwooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang