Umurku telah menginjak 6 tahun, dan umi meninggalkanku untuk selamanya. Sepulang dari Isroc, umi menjadi sakit. Aku berusaha merawat dan terus di sisinya, tapi deritanya semakin parah.
Kakek yang sempat datang untuk menjenguk menyuruh kami untuk menyumbangkan harta kami ke kuil dan meminta pertolongan dari Falias. Aku awalnya tidak ingin melakukan itu, tapi melihat umi yang menderita memaksaku melakukannya. Dibantu kakek, kami menyumbangkan hampir seluruh harta umi yang ada.
Tapi itu sama sekali tidak meringankan beban umi. Mereka bilang jika sedekah kami sudah terlambat untuk bisa menyelamatkannya. Bagaimana bisa Dewa yang diagung-agungkan itu telat menyelamatkan sesuatu? Aku mencoba percaya, dan cintaku tetap direnggut.
Saat umi wafat, tubuhnya berubah menjadi cahaya dan lenyap begitu saja. Tidak ada sisa-sisa dari dirinya, terkecuali sebuah batu merah kecil yang tertinggal saat umi hilang.
Aku kehilangan nafsu makan. Tidak bisa tidur. Bahkan aku tidak lagi merasakan gairah hidup. Beginikah rasanya kehilangan orang yang dicintai? Aku tidak tahu akan sesakit ini.
Aku hanya meringkuk di ranjang. Dengan batu merah peninggalan umi yang selalu kugenggam. Tidak ada lagi rasa ingin bangkit dan menikmati kebebasan.
Lalu batu merah itu bercahaya. Aku bangun karena kaget. Timbul bunyi retakan, dan batu itu pecah di dalam cahaya. Saat cahaya itu redup, ada makhluk halus mirip manusia kecil berukuran jari orang dewasa dan memiliki sayap. Wajah dan rambutnya mirip dengan umi, terkecuali dia memiliki telinga yang lancip dan sepasang antena seperti serangga.
Aku pernah mendengar cerita umi soal makhluk bernama Peri. Makhluk yang kata umi lahir dari alam dan bisa menggunakan Sihir tanpa bantuan Dewa. Umi bilang mereka adalah mahkluk yang pemalu dan jarang mau mendekati manusia, tapi aku sering melihatnya saat berada di Perbukitan Saad.
Peri itu terbang di depanku dan nampak gembira. Dia lalu hinggap ke batu hitam di tanganku. Aku mengangkat tanganku dan dia tidak menjauh.
"Kau ingin menghiburku?" tanyaku, dan dia tersenyum. Umi pasti sengaja meninggalkan batu itu karena tahu kalau aku akan bersedih.
"Kau punya nama?" Peri itu menggelengkan kepala.
"Kalau begitu aku akan memberimu nama, Ai, untuk Cinta." Peri itu nampak bahagia.
Sepeninggal umi, aku mulai tinggal bersama dengan kakek Syeiba. Kakek memiliki paras yang sangar, tapi dia sangat baik padaku. Aku ingat kakek sudah sebaik itu saat aku pertama terlahir ke dunia ini.
Kakek adalah seorang Jendral, tangan kanan Dewa yang sangat terkenal di seluruh Terra Santa. Pekerjaannya yang sangat sibuk itu membuatnya sering bepergian. Aku dititipkan di rumahnya yang sederhana, berada di
Isroc dan dekat dengan markas para Ksatria di sana. Aku kembali bertemu dengan Hajar dan Nura. Mereka sangat bersimpati denganku atas kepergian umi.Kadang aku juga masih merasa sedih. Tapi melihat Ai menyadarkanku untuk tidak larut dalam kesedihan itu.
Walaupun aku dihormati sebagai cucu dari seorang Jendral, aku tidak membuat itu menjadikanku santai dan pemalas.
Setiap beberapa bulan, kakek akan pulang sambil melihat perkembanganku.
Hari-hariku di Isroc kuhabiskan dengan mengurus kandang singa milik kakek, membantu Hajar berkebun, dan minta dilatih pedang oleh Nura.
Di dunia ini, singa memiliki tubuh yang lebih besar hingga bisa dijadikan tunggangan layaknya kuda. Tentu saja tidak semua orang yang bisa menungganginya. Hanya kakek yang kutahu menggunakan singa untuk bepergian. Seekor singa jantan raksasa bernama Talon.
Di kandang singa milik kakek, terdapat seekor singa betina yang diperkirakan istri dari Talon. Dan singa itu sedang mengandung. Setiap pagi, aku membantu para pelayan membersihkan kandang itu. Tapi kadang aku diam-diam masuk ke dalamnya untuk mendekati singa betina. Para pelayan selalu memperingatkanku untuk tidak dekat-dekat dengan singa sensitif itu. Tapi singa itu hanya sekali meraung kepadaku saat pertama kami bertemu. Saat ini, kami sudah seperti teman baik.
Hingga kakek mengetahui jika aku kadang mendekati singa betina itu. Bukannya marah, kakek kagum kepadaku yang bisa menjinakkannya tanpa harus bergulat seperti yang kakek lakukan dengan Talon.
Setelah itu, aku bisa dengan bebas mendekati singa betina tanpa perlu diam-diam lagi. Aku bahkan membantu persalinannya.
Seekor bayi singa terlahir. Uniknya, singa itu berwarna putih. Bayi singa itu langsung mendekatiku beberapa saat setelah dia lahir. Kakek bilang jika aku dan singa ditakdirkan untuk bertemu, sehingga kakek ingin aku merawatnya. Aku kemudian menamai singa itu Iman, Kepercayaan.
2 tahun aku berada di Isroc, kemampuan tempurku semakin terasah. Dan kakek Syeiba ingin mengetesku.
Tentunya kemampuanku tidak ada apa-apanya dibanding kakek. Aku yang bahkan tidak bisa menundukkan Nura ini tidak bisa berharap untuk menang melawan kakek. Bahkan kakek sama sekali tidak bergerak dari tempat dia berdiri. Walaupun begitu, kakek memujiku dan berkata bahwa aku memiliki potensi yang besar.
"Fadila. Untuk apa kau mengangkat pedang itu?" tanya kakek.
"Untuk menjadi hebat seperti abi," alasanku.
Tapi pertanyaan itu membuatku kembali berpikir. Sebelumnya aku tidak benar-benar memikirkannya. Aku hanya senang mewarisi pedang abi dan ingin menggunakannya seperti abi. Tapi aku belum memutuskan untuk apa aku menggunakannya.
Pedang adalah alat untuk membunuh. Saat aku mengangkatnya, berarti aku harus siap untuk mengambil nyawa makhluk lain. Tapi dapatkah aku melakukannya?
Aku memang tidak menyukai para Tuhan palsu yang menyesatkan manusia itu. Dan dalam beberapa kasus, menghilangkan nyawa orang lain memang diperbolehkan. Seperti saat melindungi diri sendiri, harta, atau keluarga. Juga dalam perang untuk melindungi negara.
Aku yang bahkan tidak pernah membunuh serangga ini. Aku tidak yakin jika aku bisa melakukannya. Tapi.. Aku tetap menginginkan kekuatan. Kekuatan untuk menegakkan keadilan tanpa harus menghilangkan nyawa orang lain!
Kakek melesat ke arahku dan melayangkan pedangnya. Aku mencoba menangkisnya dan pedang abi hancur.
Tapi kepingan-kepingan pedang itu tiba-tiba saja terbang ke arah tangan kananku layaknya magnet. Seketika setengah lengan kananku ditutupi oleh logam. Semua yang melihat nampak terkejut dengan apa yang terjadi. Kakek mencoba menyerangku lagi, dan aku menangkisnya dengan tangan itu. Dan aku bisa menahan serangan kakek dengan mudah.
"Luar biasa," ucap kakek. "Apa yang kau lakukan?"
"Aku tidak tahu," jawabku jujur. "Aku hanya berpikir bahwa sebenarnya aku tidak ingin alat untuk menghilangkan nyawa orang lain."
"Hm.. Coba serang aku!" Kakek dengan penuh percaya diri merentangkan tangannya. Aku yakin tidak ada masalah, karena kakek juga mengenakan pelindung di balik jubahnya.
Aku memukulnya dan kakek langsung terpental hingga menabrak sebuah rumah.
Kakek bangkit dengan terbatuk-batuk. Lalu dia tersenyum. "Luar biasa! Itu seperti tehnik Tangan Tuhan milik Tuan Falias!"
Aku tidak suka nama itu. Aku lebih suka menyebutnya, Amalan versi Gigantic Hope!
-------
03 Cinta & Kepercayaan
26-04-2023
26-05-2023 (Revisi)1035 kata
KAMU SEDANG MEMBACA
Saint Reincarnation (END)
FantasyPerang Dunia yang dibuat oleh manusia membuat seorang gadis suci yang dijadikan sebagai hamba Tuhan di dalam kubah berakhir dengan dibakar. Walaupun dikhianati, gadis itu menaruh harapan terakhir akan kesempatan kedua untuk melakukan sesuatu yang le...