15. Blurry Faces

117 9 0
                                    

    ‎‎‎‎‎‎‎  Perjalanan pulang dari acara berbelanja mereka hari ini berakhir diiringi hujan, lagi dan lagi. Walaupun bukan hal baru, rasanya tetap saja dibuat menghela nafas dengan pola cuaca yang tidak menentu ini, khususnya untuk Dama.

    ‎‎‎‎‎‎‎  Dama dan gadisnya mendudukkan diri di sofa ruang tamu milik Dama, dengan beberapa paper bag yang tergeletak tak beraturan di atas meja.

    ‎‎‎‎‎‎‎  Merasa telah dihabisi oleh dinginnya pendingin mobil dan angin sore di luar tadi, Dama telah mengatur suhu AC menjadi lebih hangat dari biasanya, lalu mengambil selimut dari dalam kamarnya.

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Dingin?" tanya Hera.

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Iya, pusing banget."

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Mau dibikinin minum?"

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Nanti aja. Katanya kamu mau unboxing," tunjuknya pada barang belanjaan milik Hera di meja. Sedangkan ia menyandarkan punggungnya di sofa, bersama selimut yang membungkus sebagian badannya hingga menutupi kedua lengannya.

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Beneran?"

    ‎‎‎‎‎‎‎  Dama hanya mengangguk, matanya terpusat pada wajah elok gadisnya.

    ‎‎‎‎‎‎‎  Benih matanya lalu beralih memperhatikan jari-jari lentik milik Hera dengan fake nails berwarna maroon yang baru didapatkannya tadi. Jari-jari indahnya itu membuka satu per satu tas belanjanya dan mengeluarkan barang-barang dari sana, yang sebagian besar adalah produk kecantikan. Mulai dari cushion, hingga lipstick.

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Cuma satu?"

    ‎‎‎‎‎‎‎  Hera menoleh, sedang menenteng lipstick berwarna brick di tangannya. Ia mengangguk.

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Yang satunya mana?"

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Nggak jadi." Hera kembali memfokuskan gerakan tangannya membuka yang lain.

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Lah, kenapa?"

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Mahal tau."

    ‎‎‎‎‎‎‎  Dama menatapnya tak percaya. "Kan aku bilang iya tadi?"

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Gapapa, nggak penting juga."

    ‎‎‎‎‎‎‎  Sejenak Dama tak membalasnya. Hanya memperhatikannya lagi seperti semula.

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Lain kali ambil aja kalo emang suka."

    ‎‎‎‎‎‎‎  Gadis itu tersenyum memperlihatkan barisan giginya. "Katanya mama kamu mau ke sini?" tanyanya.

    ‎‎‎‎‎‎‎  Dama yang baru saja membuka ponselnya lantas mengangguk. "Iya, mampir doang. Ada kerjaan di sini."

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Udah sampe di mana? Surabaya?"

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Ini udah di bawah."

    ‎‎‎‎‎‎‎  Hera menghentikan aktivitasnya. Matanya melebar.

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Gila!"

    ‎‎‎‎‎‎‎  Dama terkekeh. "Kenapa?"

    ‎‎‎‎‎‎‎  Kini giliran Hera yang menatapnya tidak percaya.

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Penampilan aku lagi kayak gini, Dama! Kaosnya punya kamu lagi! Nanti kalo mama kamu mikir yang aneh-aneh gimana?"

    ‎‎‎‎‎‎‎  "Kan emang?" goda pria itu, menaikkan alisnya.

Scars We CarvedTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang