Tubuh tinggi itu berjalan mendekat, menghalangi sinar lampu dari retina milik gadis cantik yang wajahnya sudah tak pucat. Sedang memperhatikan Kota Malang dari gedung tinggi ini, memandang cahaya dari setiap bangunannya.
Mereka berakhir di apartemen milik Dama, usai sebuah insiden ketika Hera secara menyedihkan duduk di halte bus di bawah gelapnya rembulan yang tertutup awan. Menunggu Dama untuk datang, sebab nyeri perut yang tak tau waktu.
Singkatnya, Dama membawanya masuk ke dalam mobil, melakukan pemberhentian di apotik, kemudian menuju apartemennya.
"Minum." Dama kini berada didepannya. Ia merendahkan badannya, memberikan gadis ini satu gelas lemon hangat yang ia buat.
"Abis dari mana?" tanya pemuda itu memasukkan kedua tangannya pada saku sweat pants yang ia pakai.
"Kosan Tere."
"Kenapa ga ngabarin?"
"Lupa."
"Belum makan?"
Hera menggeleng, membuat Dama menghela nafas kasar.
"Sini." Dama beralih duduk di sampingnya.
Hera memutar badannya melihat gerakan Dama mengeluarkan satu pack lintingan berwarna hitam dari saku celananya, kemudian mengambil sesuatu dari laci di samping kirinya. Rupanya pemantik.
"Mana yang sakit? Udah minum obat, kan, barusan?" tanyanya usai memantik rokoknya. Menghisap dan menghembuskannya perlahan.
"Gatau." Hera memalingkan wajahnya. Memandangi lukisan hitam putih yang sebenarnya tidak lebih menarik daripada prianya.
Mood-nya terlalu buruk untuk sekedar merespon dengan kalimat yang panjang. Yang ia lakukan tak lain tak bukan hanya menghela nafasnya, lagi dan lagi.
"Sakit nggak? Malah gatau."
"Iya, sakit."
"Kalo ada orang ngomong tuh diliat," tukas Dama menyentuh dagu Hera dengan telunjuknya. Meminta gadis yang sedang murung itu agar menatapnya.
Kedua mata Hera yang ia lihat tampak berkaca-kaca, tatapannya bergetar.
"Kenapa, sih?" tanyanya, namun ia tidak mendapatkan jawaban. Hera justru memainkan gelas bening di tangannya. Memutar-mutar gelas kosong itu dalam genggamannya.
"Jawab."
"Coba ga usah pake sih bisa nggak? Ga enak banget aku dengernya."
Astaga. Kalau saja yang dihadapinya ini bukan Hera melainkan wanita lain, mungkin sekarang ia sudah beranjak pergi meninggalkan gadis ini karena kesabarannya yang tak setebal buku sejarah. Ia akan memilih untuk membiarkannya sendirian dan bersenang-senang di club bersama Juan dan Jeffan. Menikmati kesenangan di bawah gemerlap lampu dan musik kencang yang memenuhi gendang telinganya. Namun berbeda, kini ia mencoba mengontrol nada bicaranya.
"Hera." Dama menurunkan intonasinya. Tanda bahwa ia sedang tidak ingin banyak bicara.
Gadis itu tampak mengatur nafasnya. Menarik dan membuangnya dengan tempo yang masih menggebu-gebu. Hingga Hera akhirnya menatap kedua mata Dama penuh, walaupun merelakan satu bulir air mata lolos dari kelopaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars We Carved
Romansa"We're so childish, aren't we?" - Sebuah kisah-kasih dalam balutan biru telah tertulis abadi di sudut abu-abu. Ditemani oleh hujan dan sapuan angin malam untuk dua insan yang pernah punya harap. Terbelenggu dalam kuasanya angan yang samar terabaikan...