Tidak jauh-jauh dari rokok dan kopi panas. Di malam yang masih dingin ini, Dama bersama yang lain—Jeffan, Juan, Tere, dan Hera—terduduk di atas beberapa anak tangga di teras rumah Jeffan. Pada pukul 21.00, memandangi jalanan komplek yang hanya dilewati beberapa kendaraan, menyisakan lampu jalan yang tidak begitu terang dengan beberapa pohon sebagai pembatas arah jalan.
"Liburan mau ke mana?" Juan menyesap rokoknya yang tinggal sepertiga bagian.
"Pulang kampung," jawab Dama enteng, membuat semuanya menoleh pada sumber suara.
Yang mereka selalu dengarkan adalah hal-hal buruk perihal Jakarta. Dama sudah biasa melontarkan kalimat yang anti dengan kota dan segala isinya itu. Mulai dari polusi, udara panas, kemacetan, hingga tentu saja orang-orangnya.
Namun saat ini?
"Serius?" tanya Jeffan.
"Becanda."
Tentu saja. Jeffan membuang pandangannya. "Orang gila."
"Kamu? Mau aku temenin ke Jakarta?" Dama menatap Hera. Gadis itu sedang menyesap kopi miliknya. Sekedar mencicipi, sebab sebenarnya ia tidak begitu menyukai jenis kopi hitam seperti ini.
Ia mengendikkan bahunya, meletakkan gelas di sampingnya.
"Belum mikirin," ujarnya.
Ada setitik keinginan di dalam hatinya untuk kembali ke sana. Namun lebih banyak dari itu, keraguannya yang berlipat-lipat.
"I'm down, if you want."
Tere menambahkan, "Tuh, Her. Katanya lo lagi kangen nyokap."
Dama menoleh ke arah Tere sebentar, kemudian kembali menatap Hera. "Mau kapan?"
Hera yang semula meluruskan kakinya ke dasar anak tangga terakhir, kini menaikkanya, lalu memeluk lututnya yang sedikit mati rasa sebab semilir angin yang lama-lama terasa bersinggah di tubuhnya. "Iya ... nanti, lah, kapan-kapan. Mending sekarang buruan nyari martabak. Katanya tadi pada pengen, kan?" Hera menyentuh tangan Dama, mengganti pembicaraannya.
"Sekarang?"
Hera mengangguk semangat. "Keburu banyak yang tutup," jelasnya.
Seribu satu cara, namun Dama tak bisa dibohongi. Pemuda itu hanya merelakannya begitu saja.
"Ya udah." Dama menoleh pada yang lain. "Mau yang apa?"
"Martabak telur bebek." Juan menjawab dengan cepat.
"Gue juga, kalo bisa yang spesial pake jamur," tambah Tere, diiyakan oleh Dama.
"Jeff?"
Yang dipanggil tersadar dari ponselnya, mendongakkan wajahnya menatap semua pasang mata di hadapannya. "Gua ... apa aja, deh, ngikut."
Tere reflek menepuk lengan Jeffan dengan punggung tangannya. "Gini ini, Jeff. Udah keliatan lo kebanyakan jadi makmumnya. Ga dapet-dapet cewek juga gara-garanya sama, nih. Ga pernah mau ngomong. Hal sesepele martabak pun, lo masih—"
KAMU SEDANG MEMBACA
Scars We Carved
Romance"We're so childish, aren't we?" - Sebuah kisah-kasih dalam balutan biru telah tertulis abadi di sudut abu-abu. Ditemani oleh hujan dan sapuan angin malam untuk dua insan yang pernah punya harap. Terbelenggu dalam kuasanya angan yang samar terabaikan...