Shima terkulai temah di tempat tidurnya, tabib baru saja datang merawatnya. Entah kenapa seolah ada yang salah dengan kondisi perutnya.
"Silakan diminum dulu, Yang Mulia Permaisuri," ucap tabib setelah selesai meramu minuman herbal yang ia berikan kepada Shima.
Wanita berparas cantik dengan keanggunan luar biasa, ibu dari negeri Kalingga memamerkan seulas senyum. "Terima kasih, tabib," ungkapnya, dia lalu menenggak minuman herbal itu perlahan-lahan.
Shima meraba perutnya yang terasa menghangat. "Jadi aku sakit apa, tabib?" Sebelah tangan mengusap bulir keringat yang keluar di keningnya.
Sang tabib istana tersenyum, wajahnya yang sudah penuh keriput tidak bisa mengontrol kebahagiaan yang terpancar dari wajahnya. Tangan yang terlihat lemah layaknya dahan pohon yang bisa jatuh kapan saja tetapi juga begitu kuat dan bertenaga saat dengan cekatan tangan pada tubuh ringkih itu dengan berkat Dewa berhasil menghilangkan rasa sakit pada para ksatria di istana, termasuk Shima yang sudah beberapa Minggu merasakan tidak nyaman pada tubuhnya.
"Selamat yang mulia permaisuri, anda dikaruniai seorang anak." Dengan hati-hati tangan tabib mengelus lembut perut Shima. Seketika itu air mata tumpah membasahi pipi Shima.
"Maksud tabib, aku ... aku tengah mengandung?" tanya Shima seolah tidak percaya dengan apa yang sudah didengarnya barusan.
Tabib istana mengangguk sebagai jawaban, sekali lagi senyum bertengger di wajah sang tabib. "Sekali lagi saya ucapkan selamat yang mulia."
"Saya akan melakukan kunjungan secara berkala ke istana yang mulia. Yang mulia harus bisa menjaga kesehatan tubuh anda dan juga bayi di dalam kandungan yang mulia." Tabib istana memberikan nasihatnya, Shima mengangguk patuh.
Wanita muda yang sebentar lagi akan menyandang status sebagai seorang ibu itu tahu betul bagaimana caranya untuk menjaga kesehatan. Hanya saja dia merasa lengah saat tiba-tiba tubuhnya ambruk sehingga tabib harus datang menemuinya saat ini. Untung saja bukan karena tubuhnya yang sakit, tetapi karena ada kehidupan lain di dalam dirinya, calon penerus kerajaan Kalingga kelak.
"Sebaiknya kabar baik ini segera yang mulia permaisuri beritahukan kepada paduka raja, mungkin saja dengan begitu kondisi istana yang tegang setelah naiknya raja terdahulu ke Nirvana akan membuat suasana hati Baginda membaik, Tuanku." Tabib istana menjelaskan, Shima tahu apa yang dikatakan oleh sang tabib adalah benar.
"Terima kasih," ungkap Shima dengan senyuman manis yang ia hadiahkan kepada sang tabib karena memberi tahukan kabar bahagia itu.
Shima beranjak dari tempat tidur dan berjalan menuju meja rias dengan ornamen kayu dengan ukiran cantik berwarna-warni. Kedua manik biji kopi miliknya menatap seorang wanita dengan hidung mancung, bibir merah merekah dan pipi putih yang bersemu layaknya buah persik, wanita yang begitu cantik dengan garis lengkung di wajahnya. Dia membuka pakaian tidur berbahan sutra yang ia kenakan, hingga memperlihatkan bagian perutnya. Senyum di wajahnya sekali lagi merekah, saat kehangatan mulai menjalar dari telapak tangan ke perutnya. "Kalau diperhatikan sepertinya berat tubuhku naik, ya?" Shima bermonolog sembari melihat perut yang terlihat membuncit.
"Selamat pagi, kesayangan, calon anakku, titipan Brahman." Sekali lagi Shima berujar sambil mengelus perutnya.
Segera dia memanggil para dayang untuk menyiapkan kembang dan hal lainnya yang ia butuhkan untuk ritual sembahyang di kuil yang sengaja disiapkan oleh paduka raja terdahulu untuk menantunya itu dalam melakukan puja kepada Sang Hyang Widhi.
Setelah semua persiapan selesai, Shima segera melakukan puja kepada Dewa Shiwa, sebagai bakta Sang Mahadewa.
Shima bersembahyang dengan mengatupkan kedua telapak tangan dengan khidmat, sebagai rasa syukur atas hal luar biasa yang terjadi padanya, tentang titipan sang Brahman pada rahimnya.
"Di mana yang mulia permaisuri?" Suara Kartikeyasingha memenuhi ruangan membuat para dayang segera duduk bersimpuh dengan tubuh membungkuk pada lantai yang mereka pijak.
"Nyuwun pangapunten paduka, Tuanku sedang melakukan puja di kuil," jelas salah seorang dayang yang menangani langsung persiapan sembahyang Shima.
"Bukankah permaisuri sedang sakit?" Kartikeyasingha diberitahu bahwa permaisuri jatuh tidak sadarkan diri setelah menjamu para utusan yang datang dari luar kota.
Kartikeyasingha tahu betul puja yang dilakukan oleh istrinya akan memakan waktu cukup lama, dan dia tidak bisa membuang waktu lagi sementara tamu-tamu kerajaan tengah berkumpul di ruang perjamuan.
Langkahnya gontai menuju kuil tempat Shima berada, tetapi saat melihat dari kejauhan wajah istrinya yang teduh seolah memancarkan cahaya yang berhasil membuat dadanya hangat, Kartikeyasingha urung menemui sang istri, dia tahu istrinya adalah penganut Hindu yang taat dan tidak akan bisa diganggu saat tengah melakukan puja. Dia hanya khawatir kesehatan sang istri. Namun, melihatnya dari kejauhan dan Shima nampak baik-baik saja, Kartikeyasingha kembali memutar tubuhnya dan melangkah menuju tempat para tamu berada.
***
Shima menunggu di kamar, berdiri sambil memandangi langit cantik dari balik jendela yang terbuka lebar, wanita itu begitu mengagumi keindahan semesta saat rembulan dengan malu-malu bersembunyi di balik awan putih sementara langit bertabur bintang membuat suasana malam nampak cantik.
"Nak, malam ini langit penuh kerlip, begitu cantik. Seolah Dewa pun ikut merayakan keberadaan dirimu di dalam sini," ucap Shima sambil mengusap-usap perutnya.
"Aku yakin, para leluhur akan merestui kelahiranmu ke dunia ini, Nak. Kamu harus sehat, ibu akan menjagamu," tambahnya.
Semilir angin yang tiba-tiba membuat kedua matanya terpejam, merasakan setiap embusan yang membuatnya nyaman.
Shima merasakan sebuah lengan merengkuh tubuhnya dari belakang, bersamaan dengan wangi khas yang kerap ia rasakan setiap berada di dekat suaminya.
"Kanda?"
"Iya, ini aku."
Shima membiarkan netranya tetap terpejam, membiarkan tubuh yang jauh lebih besar darinya itu bergelayut manja dalam dekapannya.
"Bagaimana keadaanmu, permaisuriku?" tanya Kartikeyasingha setelah mendaratkan kecupan singkat pada pucuk kepala istrinya.
"Aku baik, sangat baik, yang mulia," sahutnya, dia lalu membalikkan tubuhnya hingga kini saling berhadapan dengan Kartikeyasingha.
"Aku senang mendengarnya," ujar Kartikeyasingha, sekali lagi ia dapatkan kecupan singkat kali ini di kening istrinya.
"Aku tidak tahu sudah berapa lama kamu berdiri di sini, angin malam tidak baik untuk kesehatan, Dinda ...."
Shima mengangguk sepakat. "Mari ke dalam, ada hadiah dari Sang Hyang Widhi untuk yang Mulia," ujarnya.
Sebelah alis tebal Kartikeyasingha terangkat sambil lalu. "Hadiah? Untukku?" tanyanya bingung.
Shima hanya memberinya senyum simpul sebagai jawaban. "Ikutlah denganku, Kanda."
Tanpa diminta dua kali, Kartikeyasingha mengikuti istrinya ke dalam. Shima berbaring pada tempat tidur secara perlahan. Melihat pergerakan Shima yang sangat berhati-hati membuat Kartikeyasingha kembali dirajai rasa takut. "Kamu baik-baik saja, Dinda?" tanyanya khawatir.
Shima mengangguk pelan, dia lalu berkata, "Aku baik-baik saja, yang mulia ...." Shima meraih sebelah tangan suaminya, membimbing untuk menyentuh perutnya.
"Di dalam sini, ada hadiah yang menanti beberapa bulan lagi, Kanda," bisik Shima kepada suaminya.
Aku selalu takjub dengan kebesaran Sang Brahman di bumi kefanaan ini
Terkadang otak kerdilku tidak henti bertanya, "Bagaimana bisa?"
Oh, lalu otak kerdilku itu juga yang menjawabnya, "Tentu saja, sebab Dia Sang Brahman!"
Pada jutaan nyawa yang melayang di medan perang,
Pada setiap tiupan nyawa baru yang dihadirkan di dalam tubuh manusia, seperti diriku saat ini ....
Diri ini diberikan berkah, juga kesempatan yang tidak bisa dimiliki setiap insan
Seperti embun pagi yang bertengger manis pada tulang-tulang daun-daun hijau
Pada setiap tawa yang lepas dari diri yang penuh kebahagiaan,
Pada kelu yang membuat setiap tubuh bergetar hingga titik air mata jatuh ...
Juga, pada haru yang berganti pilu yang diubah dengan mudah
Bukankah itu mudah bagi-Nya?Terima kasih yang sudah mampir baca cerita ini. Semoga kalian suka ya 🙏😊
Nantikan kisah Shima berikutnya ❤️
KAMU SEDANG MEMBACA
Another Shima (TAMAT)
Historical FictionJauh sebelum Kerajaan Majapahit berkuasa di tanah Jawa, telah berdiri tegak kerajaan yang menjadi moyang dari Raja-raja Jawa kuno, Kalingga. Kerajaan yang mencapai puncak kejayaan saat tahtanya dipegang oleh seorang perempuan, berwatak tegas, adil d...