BAB 11 | Semu Merah Muda

42 15 2
                                    

Candrarasmi melangkah perlahan tanpa suara menuju tempat tidurnya. Dia tidak ingin membangunkan pria paling tampan di Galuh--tentu saja bagi Candrarasmi, Wretikandayun adalah satu-satunya pria paling tampan, ayah dari ketiga putranya.

Perlahan, wanita cantik itu membaringkan tubuhnya di atas tempat tidur. Tiba-tiba saja ia terkesiap saat Wretikandayun mengubah posisi tidur dan berhadapan. Belum habis rasa terkejutnya, lengan kekar pria itu menarik tubuh Candrarasmi hingga berada dalam dekapan.

"Kenapa baru datang?" Pria itu berucap dengan kedua netra yang masih terkatup.

"Kenapa?" Candrarasmi menaikan sebelah alisnya.

"Apa ... Akang merindukanku?" goda wanita dalam dekapannya.

"Kau benar, aku merindukanmu," sahutnya cepat. Bagi Wretikandayun memeluk tubuh istrinya adalah sebuah sihir yang mampu membuat seluruh lejar menguap dari tubuhnya.

Sebuah garis lengkung terbit di wajah Candrarasmi. Rasa hangat mengalir ke dadanya. Dia juga sama, rindu. Setidaknya satu kata itu yang selalu menghantui hari-hari sibuk mereka sebagai para pembesar di Galuh.

"Bagaimana persiapannya?"

Candrarasmi mengembuskan napas kasar. "Aku harap semua hal sudah selesai aku siapkan, semoga tidak ada hal yang terlewat," katanya.

Wretikandayun tersenyum simpul. "Aku selalu percaya kepadamu. Aku yakin calon besan kita tidak akan kecewa karena kau sendiri yang sudah turun tangan."

Jemarinya mengusap lembut wajah wanita cantik di hadapannya. "Apa kau lelah, Candrarasmi?"

Empunya nama menggeleng pelan. "Tidak, Akang. Sebagai ibu dari tiga anak, aku tidak bisa lelah, bukan?"

Wretikandayun menatap dalam pada sepasang mata dengan iris berwarna cokelat yang pekat dengan bulu-bulu lentik hitam cantik istrinya. Perlahan ia mengecup kening lalu kecupan singkat yang manis itu berpindah ke ujung hidung mancung sang istri. "Tidak apa-apa Candrarasmi ... saat kau lelah, kau boleh mengeluh lelah kepadaku."

"Sungguh, Kang?"

"Tentu saja, Dinda."

Kalimat yang meluncur dari mulut suaminya itu membuat dadanya sekali lagi menghangat, seulas senyum bertengger pada wajahnya. "Terima kasih, Akang."

Keduanya nampak tidak berniat untuk melakukan obrolan lebih, setidaknya tidur adalah satu-satunya hal yang lebih menggiurkan bagi mereka untuk menutup penghujung hari itu.

Sementara di bagian lain istana, seorang pemuda terlihat mondar-mandir di kamarnya.

"Bagaimana jika Pertiwi tidak tertarik kepadaku saat kami bertemu?" Sederet kalimat itu terus menerus merajai isi kepalanya.

Sial! Kenapa hanya karena seorang perempuan, aku sampai tidak bisa berpikir jernih. Sejak tadi semua hal yang aku lakukan berakhir dengan kacau.

"AH! SIAL! Benar-benar membuat kesal! Sebenarnya ada apa denganku?" celetuk pemuda itu seraya menepuk-nepuk dadanya yang sejak sepekan lalu dengan lancang berdebar sangat kencang.

Pemuda itu mengacak rambutnya. Dia mengempaskan tubuhnya ke atas tempat tidur, berharap kali ini kedua netranya dapat bekerjasama, dia ingin mencoba lelap dan berharap bisa melupakan wajah cantik yang terus-menerus muncul di benaknya.

"Bahkan belum bertemu langsung denganmu, aku sudah terpikat," katanya seraya menutupi sebagian wajah dengan lengan kanannya.

Tubuhnya masih bergerak-gerak gelisah, netranya kembali terbuka lebar. Dia bahkan tidak tahu sejak kapan Sang Batara Surya tengah terjaga dari lelapnya di atas langit dengan goresan biru.

Another Shima (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang