BAB 18 | Keputusan

61 13 2
                                    

Aku yakin keputusanku tepat.

Shima berjongkok di tepi sungai yang mengalir dengan ikan-ikan kecil yang terlihat jelas sedang berenang, serta batu-batuan di sungai yang sudah berlumut dan menjadi makanan dari ikan-ikan itu.

"Tanah ini begitu hijau, tanah ini begitu asri, juga hangat bukan hanya karena berkat Barata Surya dengan sinarnya, tapi juga karena senyum yang selalu melekat pada wajah-wajah rakyatku. Entah kenapa, semua itu membuatku bertahan untuk terus melindungi tanah ini, hingga aku tidak tahu kapan Sang Hyang Widhi memanggilku kembali ...."

Shima berdiri, di dekat sungai yang menjadi sumber kehidupan rakyatnya, sungai suci bagi para bakta Siwa. Di dekat sungai terdapat sebuah batu yang bertuliskan huruf Pallawa dan bahasa Sansekerta, di atas batu itu terdapat ukiran gambar trisula, kendi, kapal, dan bunga teratai.

Manik biji kopi miliknya mengitari sekeliling melihat bagaimana orang-orang dengan pakaian serba sederhana hilir mudik dengan kaki-kaki telanjang mereka dengan bakul di punggung, dengan cangkul dan arit di tangan sementara ada juga yang sedang memberi pakan ternak dan pengrajin yang siap menjejalkan hiasan dengan kilau cantik ke pasar.  Juga para penambang emas di dekat sungai. Ah, tidak ketinggalan para Waisya dengan pedatinya yang lalu-lalang menuju pasar.

Melihat lebih jauh ke dalam pasar, para saudagar kaya akan dimanjakan oleh Waisya yang menyandang cula dan gading di lapaknya. Atau para Nyai yang berburu perhiasan emas dan perak. Sementara di bagian lain yang tidak jauh dari pusat kota terdapat tempat para biksu dari luar Kalingga yang belajar bersama dengan Pendeta Jnanabadra.

"Bukankah melihat sebuah perbedaan itu indah, Pendeta Agung Jnanabadra?" Shima duduk bersama dengan sang Pendeta Agung.

Pendeta Jnanabadra mengulas senyum, dia lalu berkata, "Tentu saja, Yang Mulia."

"Aku baru saja menolak lamaran dari seorang Maharaja di tanah Swarnadwipa, Pendeta," ucap Shima dengan suara pelan, lebih tepatnya seperti bergumam.

Sekali lagi Pendeta Jnanabadra hanya memberikan senyuman sebagai jawaban. Keduanya nampak sama, saling diam dengan pandangan matanya lurus, sesekali dari mata keduanya nampak berbinar-binar, sesekali juga binar itu redup, lalu dari mata keduanya juga seolah-olah terpancar cahaya--kebulatan tekad.

Di hadapan keduanya banyak orang yang sedang belajar kitab, mereka terlihat saling berbaur memberikan warna oranye sebagai warna dominan, sebagian murid berkepala plontos dan yang satu lagi dengan rambut panjang yang dibiarkan terurai. Di sisi lain sejauh mata memandang, orang-orang berpakaian sari terlihat berbagi tawa dengan orang-orang berpakaian kain sederhana, tawa mereka rasanya sampai pada Shima dan pendeta Agung Jnanabadra, sebab kini keduanya mengulas senyum.

Shima menarik napas dalam-dalam, kemudian mengempaskan udara yang baru saja dihirupnya perlahan-lahan.

"Melihat wajah mereka membuat hatiku terasa damai, bukankah Yang Mulia juga demikian?" Kali ini Pendeta Agung Jnanabadra yang memulai pembicaraan.

Shima mengangguk, dia lalu tersenyum. "Bagiku, senyum dan tawa mereka adalah obat sekaligus mantra yang bisa mengubah suasana hati, Pendeta," ungkapnya.

"Maka Yang Mulia Ratu harus senantiasa bisa menjaga senyum dan tawa di wajah mereka ...."

Iya, tentu saja. Pendeta Agung betul, aku akan menjaga senyum dan tawa dari rakyatku. Tekad Shima, pandangannya beralih dari sang pendeta kepada sekelilingnya.

"Anda tidak usah khawatir, Yang Mulia, sebab bagi rakyat Kalingga, anda adalah Dewi, pelindung dan juga pelita kami. Jangan biarkan rasa takut dan tidak berdaya menggerogoti diri, Yang Mulia."

Shima tertegun, sesuai dugaannya, menemui sang pendeta Agung Jnanabadra adalah keharusan saat pikiran dan hatinya sedang kalut.

"Yang Mulia harus percaya kepada diri sendiri, sebab sebesar rasa percaya Yang Mulia kepada diri sendiri, maka sebesar itulah rasa percaya rakyat untuk Yang Mulia. Kami selalu mendukung keputusan Anda, Yang Mulia."

Another Shima (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang