BAB 8 | Setiap Orang Harus Siap Kehilangan

48 14 0
                                    


Tanpa terasa tahun-tahun berganti. Kini Putri Parwati akan memiliki seorang adik. Putri Parwati diajak oleh Shima ke Melayu Sribuja saat dia tahu ibunya jatuh sakit.

Parwati dapat merasakan saat tubuh ibunya tegang, dia juga melihat air wajah ibunya yang tidak tenang, sementara tatapan matanya terlihat kosong.

"Bu ...." Parwati memanggil wanita cantik yang berada di sampingnya, tangannya menyentuh lengan sang ibu, saat itulah Parwati baru melihat sang ibu hanyalah seorang anak yang khawatir kepada kondisi ibunya.

"Ayo," ajaknya. Shima mengangguk sebagai jawaban. Detik berikutnya kaki Shima yang sempat membatu di ujung pintu kamar mulai bergerak pelan bersamaan dengan langkah putrinya.

"Emèk ...." Shima berlari kecil untuk sampai pada tempat tidur sang ibu. Di sana, seorang wanita tua menyambut sapanya lewat senyuman. Parwati mengikuti dari belakang, membiarkan sang ibu mencurahkan kerinduan kepada pemilik rindunya.

"Shima rindu, Emèk," ujar Shima sambil mencium punggung tangan ibunya.

"Aku datang bersama dengan Parwati," ungkap Shima seraya meminta putrinya untuk mendekat. Parwati tersenyum dan mencium punggung tangan neneknya, dia lalu duduk di belakang sang ibu, sengaja memberikan ruang untuk sang ibu dan neneknya.

"Kenapa ibu tidak bilang kepada Shima kalau ibu sakit?" Mati-matian Shima menahan luapan emosinya agar tidak sampai menangis.

"Tidak apa, Sayang, Emèk akan baik-baik saja karena sudah waktunya Emèk kembali ...."

Shima tahu apa arti kalimat ibunya, dia hanya merasa tidak siap untuk kehilangan sang ibu. Wanita itu mengangguk pelan.

"Apakah nenek akan baik-baik saja, Ibunda?" tanya Putri Parwati saat melihat sosok wanita tua tengah berbaring tanpa tenaga di sebuah tempat tidur beralaskan tikar sederhana yang sudah sangat lusuh itu tiba-tiba saja menarik napas panjang dan mengembuskan secara perlahan.

Wanita itu nampak memamerkan senyum simpulnya kepada Putri Parwati. Tangan penuh keriputnya susah payah menyentuh pipi tembem dengan semu merah muda, dia berkata, "Nenek baik-baik saja, Sayangku, Parwati," ucapnya.

"Sayang, kemarilah ...." Wanita tua itu memanggil Shima untuk mendekat kepadanya. tanpa diminta dua kali, Shima duduk bersimpuh di samping sang ibu.

"Emèk harus kuat, harus sembuh ... Shima yakin, Emèk bisa sembuh," ungkap Shima, dia lalu mengecup punggung tangan ibunya secara bergantian kiri dan kanan. Sang ibu mengulas senyum, saat kedua mata mereka saling bertatapan, manik biji kopi milik Shima bergetar hebat. Rasa panas seolah singgah dan membuat matanya mulai basah.

Tangan pada genggamannya bergerak, jari-jemari penuh keriput itu perlahan mengusap sudut mata Shima seraya berkata, "Emèk sudah bilang bukan? Setiap yang hidup pasti akan mati, jadi janganlah bersedih hati Shima, putriku."

Shima tahu betul hal itu, dia hanya merasa berat melihat sosok wanita yang begitu hebat dalam menjalani kehidupannya, mengabdikan diri untuk masyarakat lewat ilmu tentang pengobatan yang dia ketahui. Sosok wanita yang entah kapan tepatnya akan menjadi abu setelah upacara kremasi. Membayangkan hal itu tentu saja Shima merasa sedih.

Shima mengangguk setelah dia berhasil mengusap jejak air mata yang sempat menetes di pipinya.

Ingat, Shima, kamu adalah seorang ibu, yang harus kuat untuk putrimu. Kalau kamu menangis di depan Parwati, bisa jadi Parwati akan menjadi seorang anak yang cengeng. Kamu harus kuat, bukankah ibu juga dulu begitu?

Another Shima (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang