The Peach Scent You Left

404 43 7
                                    

Perhatian!!

> cerita ini 100% fiksi dan dimaksudkan sebagai hiburan

> segala karakter, tempat, waktu, dan kejadian yang ada dalam cerita ini juga murni karangan penulis.

> bagaimanapun tokoh yang digunakan di cerita ini adalah orang nyata. Penulis hanya menggunakan mereka sebagai face claim sebagai penggambaran karakter yang ada dalam cerita, bukan bermaksud menyinggung/merugikan/menyakiti mereka di dunia nyata.

> bila ada pihak yang tersinggung sangat dipersilakan untuk mengingatkan penulis melalui DM.

Terima kasih.














Apa yang lebih menyedihkan selain ditinggal pergi oleh orang terdekat? Bukan pergi ke suatu tempat tapi suatu alam yang lain, sudah tak terjangkau dengan apapun. Gone for good.

Keduanya adalah teman baik sejak kecil, walau sudah jarang bertemu di kampus Felix dan Jeno masih bertegur sapa saat ada kesempatan. Dan kini menyaksikan peti itu perlahan ditutupi tanah menyayat hati Jeno begitu dalam, kekosongan yang sebelumnya ia rasakan saat pertama kali mendengar berita kematian salah satu temannya kini dipenuhi duka yang mendalam.

Siang itu di tengah musim panas aroma manis persik di udara seolah menenangkan orang-orang yang hadir di pemakaman Felix Lee. Penuh tangisan dan suasana duka yang begitu kental. Tidak ada yang boleh melihat jenazahnya, persetujuan dari keluarga yang bersangkutan.

"... orang yang berarti banget guat gue. Gue kakaknya tapi dia orangnya penyayang dan protektif banget seolah gue yang adeknya hiks! Masih ada cita-cita dan harapan yang belum kesampean sama dia..."

Jeno menatap iba pada kakak kembar Felix yang tidak bisa berhenti tersedu dari kejauhan. Perempuan manis berambut pendek itu terus diberi penghiburan oleh teman dan kerabatnya.

"Dang, gue gak begitu kenal dia but I feel reeaaly sad." Bisik Mark, teman satu kamar asrama Jeno.

Benar, sebagian besar angkatan mereka datang ke pemakaman. Tidak semuanya mengenal Felix tapi siapa yang tidak tahu mahasiswa paling easy-going di kompleks fakultas non-mipa.

"Dia temen kecil lo kan? Gue turut berduka."

Jeno hanya bisa mengangguk. Setitik air mata menetes ketika Mark memberinya pelukan, berharap itu dapat menguatkannya.

"Gue udah gak terlalu deket juga tapi dia baik banget, bahkan kayaknya sekampus sama dia dijadiin temen. Kenapa dia pergi cepet banget?" Ucap Jeno terhalang bahu Mark yang merengkuhnya. Sedang teman sekamarnya itu memberi usapan di punggung Jeno.

"Orang baik emang selalu dipanggil duluan sama tuhan." Gumam Mark, "prosesinya udah selesai, pulang yuk? Tar malem lo kan ada shift kerja."

Lagi-lagi Jeno hanya mampu mengangguk. Mark ijin untuk berpamitan pada teman-temannya yang juga hadir disana, meninggalkan Jeno dibawah pohon persik rimbun.

Mata bulan yang agak sembab menatap ke atas, pada daun di pohon yang gemerisik tertiup angin. Mereka begitu ribut namun juga tenang disaat yang bersamaan, seolah menghormati suasana duka disana.

"Lee Jeno ya?"

Perhatian pemuda Lee teralih pada suara lembut yang memanggilnya. Disana berdiri seorang pemuda dengan rambut cokelat, lensa jernih sewarna kacang hazel, dan bibir ranum yang tidak terlalu asing.

Merasa lawan bicaranya bingung, pemuda itu tersenyum tipis.

"Gue Renjun, Renjun Huang jurusan seni patung. Kita pernah sekelas filsafat kalo lo inget."

FlawlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang