The Project

200 33 9
                                    

"Oke, jadi ngeringkas diskusi sesuai kesepakatan kita tadi; satu, sebagai proyek akhir semester ini sekelompok setuju buat bikin mural. Kedua, kelompok gak akan dibagi tapi kerja semua dalam hari kerkel. Ketiga, area mural ada di jalan xxx di tembok gang mall xx dan dimulai besok sore. Ada yang masih belum jelas?" Perempuan berkacamata itu mengangkat pandangannya dari catatan di buku.

Sepuluh orang yang duduk melingkar di taman kampus tampak menggeleng. Merasa langit kian menjingga perempuan itu, Jinny, akhirnya membubarkan rapat kelompok yang ia pimpin.

Mahasiswa jurusan seni yang hendak lulus diperbolehkan membuat karya seni (tidak termasuk tugas akhir) sebagai kenang-kenangan baik individual maupun kelompok. Dan Jinny membuat kelompok yang ia pilih dari berbagai mahasiswa kompeten di angkatan dibawahnya untuk membantunya membuat karya mural.

Jeno dan Renjun termasuk dalam kelompok itu. Alasan Jeno sederhana, karena ia ditawarkan sejumlah imbalan oleh sang kakak tingkat dan ia mengincar nilai tambahan sebagai mahasiswa aktif walau sepulang dari kampus ia harus langsung pergi ke tempat mural dan memotong waktu istirahatnya.

Dan sebuah kejutan melihat pemuda mungil yang duduk diantara orang-orang yang akan bekerja sama dalam proyek itu.

"Jen!"

Sang empu menoleh merasa namanya dipanggil. Menemukan pemuda yang mengenakan jaket baseball hitam putih oversized mengejar langkahnya.

"Lo mau langsung balik?" Tanya Renjun agak terengah. Poni coklat yang tertiup angin sore membuat Jeno salah fokus pada parasnya.

"Iya nih, mumpung Mark belum ngelayap lagi. Kunci kamar kami ada di dia soalnya."

Si mungil membentuk O dengan bibirnya, "soal kerkel tadi, bukannya tempat muralnya jauh dari asrama sama tempat kerja lo ya?"

"Lumayan. Bikin pegel kalo jalan dari asrama, tempat kerja, terus ke tempat mural."

Jeno seketika sadar,

dia tau dari mana tempat kerja gue?

Namun kembali beralih pada Renjun kala pemuda itu mengeluarkan kalimat dengan volume sangat-sangat kecil, hampir seperti anak kucing mengeong.

"Um ... jadi gini, karena muralnya cuma seminggu dan lokasinya deket sama rumah gue, barangkali lo mau nginep di tempat gue?"

Terkejut? Tentu, Jeno tidak menyangka pujaan hatinya begitu frontal menunjukkan ketertarikannya kepada Jeno. Jelas terlihat sejak hari dimana ia pingsan dengan begitu memalukannya di hadapan Renjun, pemuda mungil itu sering mengiriminya pesan, memastikan Jeno baik-baik saja. Dan ya ... mereka semakin dekat.

Sebelum terjadi salah paham Renjun segera meralat. Telinga memerah menyadari ajakannya mungkin terdengar salah, "ma-maksud gue Somi aja nginep di tempat kak Jinny, Addam di tempatnya kak Dongha. Siapa tau itu memudahkan lo juga kan...."

Ah, Jeno jadi ikut salah tingkah menyadari dirinya berpikiran terlalu jauh.

"Y-ya kalo gak ngerepotin, boljug. Nanti gue ngomong sama Mark dulu."

Wajah Renjun seketika sumringah, mata berkilau antusias seolah lensa coklat gelapnya menyimpan milky way.

"Hit me up kalo lo mau ke rumah gue,"

Tangan mungilnya yang tertutup lengan jaket menarik pelan pergelangan tangan Jeno, Renjun berjinjit dan membubuhkan kecupan di pipi si pemuda Lee. "Sampe ketemu di kelas!"

Tubuh kokoh Jeno yang sudah menggigil karena angin sore semakin membeku, hanya bisa menatap Renjun berjalan semakin jauh.

Perlahan tangannya merayap ke titik Renjun meninggalkan kecupan. Sensasi hangat labium tipis nan lembut dan lembab disana tak kunjung hilang.

FlawlessTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang